Roman bukan remaja penakut. Tetapi situasi di kamarnya memang benar-benar tak nyaman dan selalu membuatnya gelisah menjelang tidur. Suhu kamar lebih dingin dan bukan seperti suhu ruang yang normal dan itu terjadi setiap selepas Mahgrib. Roman merasa ada yang janggal dengan Taubah, satu-satunya kamar yang terpisah dengan kamar lain yang berjejer. Satu-satunya kamar yang tanpa jendela dan minim ventilasi. Satu-satunya kamar yang hanya dihuni satu santri, yaitu dirinya.
Seperti biasa selepas salat Isya berjamaah, Roman hanya bisa mengurung diri di kamar. Hingga hari ketiga di pondok pesantren, Roman belum juga memperoleh teman. Para santri lain seperti enggan menjadi temannya dan kadang itu terlihat dengan mudah dari gestur tubuh mereka saat berpapasan dengan Roman. Mereka menunduk lalu berjalan ke arah lain untuk menghindar. Tapi setidaknya ada Ipul yang justru berbeda sikap dengan santri lain, Ipul yang tiba-tiba nyamperin Roman demi sebuah skenario balas dendam.
“Tapi kamu jangan terlalu sering terlihat ngobrol sama aku atau ketemu aku. Bisa-bisa aku dihabisi mereka,” pesan Ipul terakhir mereka ketemu saat makan.
Tadi saat salat Maghrib, Roman sempat bertemu dengan Ustadz Subhan dan menanyakan kemungkinan dia bisa pindah kamar. Roman beralasan kamar Taubah yang ditempatinya sangat gerah karena tak berjendela dan minim sekali ventilasi. Padahal sejujurnya malah sebaliknya dan itu sangat aneh.
“Saat ini belum ada bed kosong yang bisa kamu tempati di kamar lain. Full semua. Kenapa? Kamu takut tidur sendirian di Taubah?” tanya Ustadz Subhan dengan tersenyum.
“Tidak, Tadz. Hanya saja, saya merasa gerah sekali tidur di sana. Itu ventilasi hanya ada di atas pintu, lubang tak seberapa besar meskipun ada dua. Emang dulu gimana sih, Tadz? Kok bisa bangun kamar seperti itu? Apa susahnya sih bikin jendela?” ujar Roman ketus.
“Sudah, kamu bertahan dulu di sana. Nanti kalau ada bed kosong, langsung bisa kamu tempati. Atau kalau ada santri baru, nanti biar menemani kamu di Taubah, supaya kamu tidak takut lagi,” kata Ustadz Taubah, lagi-lagi sambil tersenyum.
“Dih, Ustadz … saya kan sudah bilang bukan karena saya takut,” protes Roman.
Obrolan itu tak ada titik temu dan Roman tetap harus menikmati malam-malam di kamar Taubah sendirian dengan perasaan tak nyaman. Kamar Taubah ini juga mengingatkannya pada ruangan isolasi yang memiliki bentuk bangunan sama.
Tak banyak yang bisa dia lakukan selepas Isya, selain mengerjakan tugas bila ada, setelahnya bingung mau ngapain. Aturan di pondok pesantren ini juga sangat ketat terkait penggunaan handphone. Santri yang baru masuk ke pondok pesantren itu tak boleh memegang handphone pada satu bulan pertama. Bila sikapnya baik berdasarkan dari laporan pengasuh yang mengawasinya, maka bulan berikutnya dia boleh menggunakan handphone di jam-jam tertentu yang diatur oleh pondok. Pada satu bulan pertama ini, Roman hanya berkesempatan menelepon orang rumah dengan menggunakan telepon milik pondok maksimal satu hari sekali.
Bila tak ada tugas yang harus dia kerjakan selepas Isya, remaja itu lebih suka menghabiskan waktu dengan menggambar sketsa di buku sketsa yang dibelikan Mamahnya, lengkap dengan drawing pen mahal ukuran 0.1 hingga 0.5. Menggambar adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Roman dan disadari benar oleh orangtuanya. Saat masih SD, Roman pernah diikutkan kursus menggambar. Namun menginjak SMP dan saat memasuki akil baligh, pemuda tanggung itu seperti tak tertarik lagi dengan aktivitas menggambar. Bertemu dengan teman-teman baru dan merasa menjadi orang dewasa padahal masih bocah juga, membuatnya menjadi lebih tak terkendali. Banyak hal-hal baru yang sepertinya lebih membuatnya tertarik, seperti motor, ngopi, termasuk juga mulai tertarik kepada cewek. Hal ini memiliki dampak yang besar bagi dirinya, seperti mulai tak mau diatur, suka berdandan, mulai rewel dengan potongan rambut dan model baju, dan lain sebagainya. Omongan orangtua menjadi selalu salah dan omongan teman-teman adalah kitab suci yang diyakini dan harus dijalankan.