Ipul menyelinap masuk ke kamar Taubah dengan cepat begitu Roman membuka pintu kamarnya. Remaja tambun itu sengaja mengambil waktu usai salat Subuh berjamaah di masjid, supaya tak ada santri yang melihat.
“Heh … main selonong aja. Ada apa? Tadi di masjid cuek-cuek aja, sekarang kayak kangen banget sama aku,” tanya Roman sambil melipat sarung yang baru saja digunakannya untuk salat Subuh di masjid.
“Hissh, jijik! Gimana rencana balas dendammu? Jangan kelamaan, langsung eksekusi aja,” sahut Ipul. Meskipun berbicara dengan Roman, namun mata Ipul kemana-mana menyapu ke seluruh ruangan kamar Taubah. Hingga kemudian matanya berhenti di meja di mana terdapat sebungkus roti. Ipul mendekat ke meja dan langsung menyambar roti itu.
Roman merangsek cepat, lalu memegang tangan Ipul, “Balikin cepat atau patah tangan kamu,” ancam Roman. Ipul tertawa ngikik dan mengembalikan roti itu dengan cepat.
“Balik ke urusan kita,” sambung Roman.
“Iya. Kapan nih balas dendamnya?” desak Ipul.
“Gampang … target pertamaku si Akmal Nurcahyo. Dia harus mempertanggungjawabkan tindakannya yang menyeretku ke sumur. Seumur hidup aku nggak terima,” ujar Roman sambil membanting pantatnya ke kasur. Ipul mengambil duduk di kursi kosong depan meja.
“Good! Aku juga dendam sama dia. Seminggu pertama di sini, aku dipermalukan di depan para santri. Secara terus-menerus dan seluruh santri di kelas tertawa. Cerita-cerita tentang kelakuan Akmal kepadaku bisa bertahan berminggu-minggu,” ujar Ipul.
“Oya? Emang kamu diapain aja?” tanya Roman penasaran.
“Banyak. Salah satu yang memalukan adalah pas olahraga. Ada pelajaran senam, bergantung di palang tunggal. Tiba giliranku, aku nggak curiga tuh. Pas aku bergantung di palang, tiba-tiba Akmal mendekat dan menarik celana olahragaku. Seluruh santri tertawa ngakak. Semakin ngakak karena aku pakai celana dalam warna merah muda,” cerita Ipul dengan wajah datar seperti ceritanya itu adalah hal wajar. Tawa Roman pecah mendengarnya, yang membuat Ipul makin bersungut-sungut sebal.
“Di mana lucunya?” protes Ipul.
“Tapi … hahaha … aduh, sakit perutku. Tapi bentar, kenapa ada Akmal di kelas olahraga itu? Bukannya dia senior yang sudah lulus?” tanya Roman.
“Akmal ini dulu kan santri di sini. Santri kalong yang nggak tinggal di dalam pondok. Dia anaknya pegawai kelurahan di desa sini. Nah, meskipun sudah lulus, dia masih ngendon di sini, diperbantukan jadi apa saja. Sudah tua dia, mungkin sudah 20 tahun. Dia di sini ikut mengawasi anak-anak, termasuk yang pada kabur-kabur itu berhasil ditemukan karena peran Akmal. Kadang juga mengawasi kegiatan olahraga kalau kebetulan gurunya nggak bisa ngajar,” jawab Ipul.
“Lagian … kenapa juga beli celana dalam merah muda … hahahaha,” Roman masih tak mampu menahan tawanya bila mengingat cerita Ipul.
“Kamu pernah nggak sih beli satu paket celana dalam cowok yang isi tiga dan kita nggak bisa milih warna? Ya begitu itu. Aku dibelikan mamiku sepaket isi tiga, hijau, biru, merah muda. Yang salah pabriknya, kenapa jualan celana dalam cowok tapi ada warna merah muda,” dalih Ipul. Roman menutup mulutnya masih mencoba menahan tawa.