Suasana sarapan pagi itu heboh. Semua santri yang sudah menghadapi piring makannya di bangku-bangku panjang tampak tegang dan tak menyentuh makanan. Ustadz Ali memerintahkan semua diam dan menyimak apa yang dia katakan. Ustadz Ali berdiri di samping speaker portable seukuran koper. Tangannya memegang microphone.
“Hari ini, saya ingin menyampaikan rasa kecewa saya kepada kalian. Ada seseorang di antara kalian yang telah melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, yang merugikan orang lain, yang tidak bisa ditoleransi!” ujar Ustadz Ali dengan suara tegas dan keras. Semua santri dalam posisi terdiam, sebagian menunduk.
Suasana hening. Beberapa santri memandang satu sama lain seperti mencari jawab apa yang dimaksud oleh Ustadz Ali. Dapat dipastikan acara sarapan akan tertunda lama.
“Ada yang mau ngaku telah melakukan perbuatan jahat kemarin? Sebelum saya sebutkan siapa?” tanya Ustadz Ali.
Tak ada pergerakan sama sekali.
“Baik, saya panggil dulu siapa yang menjadi korban kejahatan salah satu atau mungkin lebih dari kalian. Mas Akmal silakan ke sini,” kata Ustadz Ali. Sontak semua memandang ke arah pintu ruang pengasuh. Akmal, tampak keluar berjalan ke arah Ustadz Ali. Semua mata memandang ke arah Akmal, sebagian menahan tawa cekikikan, sebagian menutup mulut takut. Roman melirik ke arah Ipul sambil tersenyum kecil. Ipul membelalakan mata sambil menutup mulut.
“Diaaam!” seru Ustadz Ali.
Sontak suasana kembali hening.
Akmal berdiri di samping Ustadz Ali. Penampilannya jauh berbeda sekarang, karena kepalanya tak ada rambut lagi alias gundul pelontos. Wajahnya terlihat berbeda dan lucu. Beberapa santri tampak mencuri pandang ke arah Akmal karena masih penasaran.
“Saya dilapori Mas Akmal, bahwa kemarin sepulang dari pondok, seseorang atau mungkin komplotan, telah mengolesi bagian dalam helmnya dengan lem super. Ini bahaya sekali karena helm susah dicopot dan menempel di rambut indah … di rambut Mas Akmal,” Ustadz Ali terpeleset di akhir kalimat. Beberapa santri menahan tawa mendengarnya.
Anjrit, rambut indah, Roman ngikik.
Pemuda tanggung itu belum merasa ada bahaya yang mungkin akan mengancamnya. Roman heran kenapa harus dipotong gundul juga? Padahal dia hanya mengoleskan di bagian atas saja supaya tidak terlalu berbahaya. Bagian samping, belakang, hingga dekat tengkuk tak diolesi lem oleh Roman karena khawatir helm tidak bisa dilepas. Senakal-nakalnya aku, tetap tahu mana yang bahaya dan mana yang bukan, batin Roman.
“Saya beri waktu 5 menit bagi pelaku untuk mengaku. Kalau mengaku, hukumannya akan saya peringan. Tapi kalau tidak mau mengaku, tahu sendiri akibatnya,” ancam Ustadz Ali.
Roman sedikit resah, mau mengaku atau tidak. Dari bangku samping kanan, Ipul tampak melirik ke arah Roman dengan wajah khawatir. Roman membuang muka ke arah lain, lalu ke arah Ustadz Ali yang tampak memandangi sejumlah santri. Hingga wajah Roman bersirobok dengan wajah Akmal, benar-benar mata ketemu mata. Roman agak gugup tapi memaksa memandang ke arah mata Akmal beberapa detik. Akmal seperti merasakan sesuatu dan memicingkan mata memandang ke arah Roman. Spontan Roman memandang ke arah lain.
“Matiii aku,” gumam Roman.
Tiba-tiba tangan Akmal menunjuk ke arah Roman. Dengan cepat Akmal berlari kecil ke arah bangku yang diduduki Roman, lalu menarik lengan kanan Roman dan menyeret ke arah Ustadz Ali.
“Aduuuh,” Roman mengaduh dan terpaksa menuruti Akmal. Suasana menjadi gaduh, semua mata santri tertuju ke arah Roman. Mereka seperti tak menyangka Roman, santri baru, yang menjadi pelaku tragedi lem Korea itu.
“Diaaam semua!” kembali suara Ustadz Ali.
Akmal mendorong Roman ke arah Ustadz Ali. Roman menyeimbangkan tubuh sebelum kemudian bisa berdiri tegak di depan Ustadz Ali. Pemuda tanggung itu memandang lurus ke arah Ustadz Ali seperti orang yang tak bersalah.
“Kenapa kamu melakukan itu?” gertak Ustadz Ali.