Roman berada di pondok sudah hampir tiga pekan. Tak ada kemajuan berarti dari sisi pertemanan, karena nyaris semua santri -yang sebagian besar umurnya lebih muda- enggan berteman dengannya. Roman hanya memiliki satu teman yaitu Ipul dan satu orang lagi yang potensial menjadi temannya yaitu Sagara. Namun, nama terakhir ini adalah misteri bagi Roman, karena nyaris selama tiga pekan di pondok pesantren, Roman tak pernah bertemu Sagara di kelas maupun dalam aktivitas pondok sehari-hari.
Rencana Roman untuk kabur mulai kendor. Bukan karena dia mulai menikmati kehidupan di pondok pesantren, namun lebih kepada ada urusan yang belum sepenuhnya dia selesaikan, yaitu dendam yang belum tuntas kepada Akmal cs. Di sisi lain, Roman mulai merasakan ada sesuatu yang aneh di pesantren itu, khususnya tentang ruang isolasi di mana dia bertemu Sagara. Semua hal ini mengalihkan fokusnya untuk kabur dari pesantren.
Sore itu, jeda antara selepas belajar dan menjelang Mahgrib dimanfaatkan Ipul untuk nongkrong di Taubah, kamar yang berpenghuni hanya satu santri, yaitu Roman. Ipul asyik nyemil kacang goreng. Ipul santri yang multitasking, meskipun sibuk makan dia tetap bisa fokus menyimak omongan orang yang ada di depannya.
“Kamu ngerasa pesantren ini aneh nggak, sih?” desak Roman.
“Hem?”
“Ham … hem … ham … hem,” sambar Roman sewot.
“Iya, aku lagi mikir juga.”
“Meskipun baru tiga pekan, tapi aku mencium sesuatu yang aneh di pondok pesantren ini, Kayaknya ada sesuatu yang salah deh.”
Ipul menoleh ke arah Roman. Raut mukanya berubah, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar Taubah. Ipul lalu memasukkan lagi kacang ke mulutnya, lalu raut mukanya kembali normal seperti tak memikirkan apa-apa.
“Kamu tahu sesuatu, kan?” selidik Roman.
Ipul meletakkan bungkus kacang di meja, lalu berdiri dan mendekat ke bed di mana Roman duduk. Ipul lalu duduk tepat di depan Roman, menatap wajah Roman dengan serius. Roman nyengir dan merasa aneh ditatap Ipul.
“Jangan macem-macem, ya ….”
Ipul menatap lekat-lekat. Suasana hening sesaat, sebelum kemudian Ipul berujar, “Kita sahabatan, kan? Kalau aku cerita ke kamu, kamu nggak akan membocorkan ke orang lain, kan?” tanya Ipul dengan wajah serius. Roman terdiam, lalu mengangguk dengan agak ragu.
“Apaan?”
Ipul kembali mengedarkan pandangan menyapu seluruh ruangan Taubah, sebelum menghela napas berat. Roman tampak jengkel melihatnya, karena Ipul tak pernah bersikap seserius ini.
"Kami sudah sering membahas ini diam-diam. Berjanji tidak akan membocorkan hal ini, karena bahaya kalau ketahuan," Ipul membuka omongan.
"Kami? bahaya ketahuan siapa?" kejar Roman.
“Aku dan beberapa santri seangkatanku. Jadi ... hemmm ... dulu kamar ini ditempati seorang santri. Belum lama kok, baru setahunan. Masuknya bareng aku,” Ipul mengawali ceritanya. Roman menyimak baik-baik cerita Ipul.
Ipul menghela napas lagi. Lalu Ipul melanjutkan ceritanya. Kata Ipul, santri itu menempati Taubah bersama seorang santri lain yang saat ini sudah pindah. Sejak kedatangannya ke pondok pesantren Kiai Nuruddin Latif ini, santri itu terlihat sebagai sosok santri yang pemarah dan pembangkang. Seminggu pertama, selalu mendapatkan hukuman karena selalu melakukan kesalahan.
“Kayaknya sih dia sengaja melakukan pembangkangan itu, berharap akan dikeluarkan dari pondok pesantren ini. Semua aturan dia langgar. Ya kamu tahu sendiri, kalau sudah seperti itu ketemunya sama Akmal cs kan? Itu seminggu dia dikerjain terus sama Akmal cs,” cerita Ipul.
“Dikerjain?”
“Ya macem-macemlah. Kayak dimasukin ke tong isi air dingin campur es batu, disuruh berendam lama. Dibentak-bentak, digundul kayak kamu kemarin itu, dimasukin ke ruang isolasi, semacam itu. Pernah juga dijemur di samping sumur dari jam 9 pagi sampai Zuhur. Tapi nggak dikeluarkan dari pesantren juga walau kesalahannya sangat banyak.”