Di luar Ipul, ada lagi satu orang yang sepertinya baik terhadap Roman. Namanya adalah Widodo. Dia adalah pemuda yang berusia sekitar 20 tahunan, mungkin sepantaran Akmal. Widodo adalah anak Bu Ratmi, juru masak di pondok pesantren, yang selama ini membantu menyiapkan kebutuhan air minum bagi seluruh penghuni pondok pesantren.
Roman tak mengenal Widodo secara baik. Namun Roman sering melihat pemuda itu diam-diam mengamatinya. Bila ketahuan, dia akan melemparkan senyum kepada Roman. Widodo pernah diam-diam mengantarkan teh hangat ke kamar Taubah, setelah Roman dilepaskan dari ruang isolasi. Fasilitas teh hangat biasanya hanya disediakan saat sarapan pagi, berharap akan membuat hangat perut para santri sehingga siap mengikuti pelajaran. Di luar itu, kebanyakan santri menggunakan air putih isi ulang yang disediakan di kamar secara gratis.
Satu kali tindakan baik, beberapa kali senyuman, membuat Roman mengambil kesimpulan bahwa Widodo adalah orang yang tepat yang akan mendukung rencananya. Sepertinya Widodo juga jarang bergaul dengan para santri atau bahkan Akmal cs.
Pagi itu, selepas salat Subuh, Roman menuju ke dapur. Di sana sudah terlihat Bu Ratmi dan beberapa orang yang membantunya, mempersiapkan sarapan bagi para santri. Di sudut lain, tampak Widodo menghadapi satu panci besar dan tinggi seperti yang biasa digunakan pedagang bakso. Itu adalah panci tempat Widodo merebus air yang akan digunakan untuk membuat teh jatah pagi para santri.
“Pagi, Mas Wid. Maaf, apakah saya boleh minta bantuan?” tanya Roman sopan.
“Oh, iya … boleh-boleh Mas Roman. Apa yang bisa saya bantu?” pemuda itu memanggil Roman dengan "mas" meskipun sudah jelas Roman jauh lebih muda. Ini biasa dilakukan orang untuk menghormati yang diajak bicara.
Roman tersenyum. Sikap Widodo seperti yang diharapkannya. Roman kemudian mengeluarkan satu bungkus bubuk jahe instan, “Mau minta air panas, buat bikin minuman jahe. Badan saya agak tidak enak soalnya, Mas.”
Widodo tersenyum lalu bangkit mendekat ke arah Roman, tanpa minta izin langsung mengambil bungkus bubuk jahe itu dari tangan Roman, “Mas Roman balik ke kamar, nanti air jahenya saya antar. Ini masih sekitar 15 menit lagi air baru matang.”
“Terima kasih, Mas,” Roman tersenyum lalu berbalik dan meninggalkan dapur. Sepertinya rencananya yang dia siapkan akan berjalan dengan lancar.
Di dalam kamar, Roman kembali memperhitungkan semua tindakan yang akan dia lakukan. Bagi dia, ini harus dilakukan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cerita Ipul semalam membuatnya berpikir banyak, bahwa ada sesuatu yang salah di pondok pesantren ini, di luar persoalan pendidikan agama yang diberikan. Alih-alih ingin kabur dari pondok pesantren ini, Roman sekarang malah tertantang untuk mencari tahu apa sebenarnya yang salah dari pondok ini.
Dari sisi pendidikan agama, Roman merasakan semua baik-baik saja. Dia mendapatkan banyak ilmu agama yang tak didapatkannya di sekolah umum sebelumnya. Tak terlalu berat juga, karena meskipun dia dianggap bengal dan tak pandai, tapi Roman memiliki dasar pendidikan agama yang cukup. Sejak kecil hingga SD dia sekolah di sekolah Islam terpadu. Remaja itu juga mampu membaca Alquran meskipun tidak jago-jago amat. Yang bikin pusing belajar di pondok pesantren adalah kedisiplinan yang harus dipatuh dan dijalankan.
“Mas Roman, saya masuk ya?” terdengar suara dari luar. Roman beranjak dari kursi dan membukakan pintu. Widodo tampak datang dengan membawa secangkir jahe panas.
“Mas, sebentar saya pengen ngobrol boleh?” Roman mencegah Widodo yang terlihat akan keluar kamar Taubah. Pemuda itu berhenti, memandang Roman ragu-ragu, lalu mengangguk. Dia tetap berdiri di dekat pintu kamar.
“Tapi jangan lama-lama ya, Mas … sebentar lagi saya harus mempersiapkan minum untuk sarapan santri,” kata Widodo.
“Kalau kayak Akmal dan teman-temannya itu mendapat jatah teh hangat khusus?” tanya Roman tanpa basa-basi.
“Iya, Mas. Diletakkan di ruang pengasuh. Tidak selalu teh, tergantung permintaan. Kayak Mas Akmal dan Mas Fikri maunya kopi.”