“Jadi teman-teman, kepemimpinan itu penting dalam organisasi ya. Suatu organisasi didirikan memiliki tujuan kan? Nah, kepemimpinan menjadi salah satu kunci vital agar tujuan dari organisasi itu tercapai. Diperlukan sosok se … jadi, anu … diperlukan sosok se ….”
Ruangan mendadak sedikit berisik. Beberapa santri di ruangan itu yang tengah menyimak materi kepemimpinan dari Fikri Kurniawan berbisik-bisik satu sama lain. Beberapa tampak menutup hidup dan mendorong temannya. Fikri menghentikan kalimatnya.
“Kenapa?” tanya Fikri.
“Bau kentut, Mas!” sahut santri paling depan.
“Iqbal cepirit!” sahut yang lain.
“Enak aja!” santri bernama Iqbal mendorong teman di sampingnya.
Fikri tak biasanya terlihat biasa aja dan tak marah-marah dengan keributan itu. Wajah Fikri terlihat pucat juga dan seperti gugup. Roman yang berada di bagian belakang kelas itu, melirik ke arah Ipul, memberi kode dengan mengangkat alisnya.
“Sudah … sudah. Oya, jadi … sampai di mana ya?”
“Kunci vital!” sambar salah seorang santri.
“Oh, iya … jadi kepemimpinan adalah kunci vital … uhmm … anu … sebentar, Mas Akmal minta bantuan untuk diteruskan?” Fikri memandang ke arah Akmal dengan penuh harap. Roman menahan tawa melihat adegan itu.
Akmal sepertinya tanggap. Fikri lalu bergegas mengambil langkah cepat keluar dari ruangan. Bersamaan dengan keluarnya Fikri, menguar bau tak sedap. Kelas heboh! Saling tuding siapa yang kentut. Roman tertawa melihat kejadian itu.
“Buseeet, baunya busuk sekali!”
"Habis makan telur asin kayaknya," bisik di sebelahnya sampil cekikikan.
“Duh, siapa yang kentut nih?”
“Kamu, ya?”
“Enak aja, kamu!”
Celetukan silih berganti saling tuding. Roman menahan tawa melihat itu, karena dia tahu pasti sumber bau ini datangnya dari mana. Siapa lagi kalau bukan Fikri yang lari terbirit-birit keluar kelas.
“Diaaam!” Akmal berseru yang membuat seluruh santri yang berada di dalam kelas serentak diam. Kelas hening seketika. Akmal tampak mengedarkan pandang ke arah wajah-wajah santri, dengan pandangan yang serius.