Kisah Penyap dari Rimbun Bambu di Belakang Taubah

Ariyanto
Chapter #12

Tolong Bantu Aku

Ustadz Subhan mendorong keras tubuh Roman, masuk ke dalam ruangan isolasi. Belum satu bulan mondok, Roman sudah tiga kali masuk ruang isolasi. Konon ini adalah rekor yang belum pernah terjadi kepada santri lain. Hal itu yang sepertinya membuat Ustadz Subhan jengkel sehingga keluar sikap-sikap yang di luar kesehariannya. Ustadz Subhan seperti marah sekali dengan kelakuan Roman.

Sebenarnya ini sudah menjadi skenario yang direncanakan remaja itu, bahwa dia ingin kembali dimasukkan ke ruang isolasi. Tetapi seharusnya bukan karena pengkhianatan yang dilakukan Widodo, tetapi karena dia ketahuan menjadi otak di balik aksi mencampur obat keras pelancar BAB ke minuman Fikri dan Akmal. Sekarang, kesalahan Roman malah berlapis dan lebih berat, karena selain dianggap mencelakakan Fikri dan Akmal, dia juga dituduh melakukan ancaman kepada Widodo.

“Bangsat memang Widodo,” gerutu Roman.

Ruang isolasi menjadi lebih ramah karena ini ketiga kalinya dia masuk. Dirabanya saklar yang sudah mulai dihapal lokasinya. Lampu 5 watt menyala. Terakhir ke sini, lampunya mati. Roman mengedarkan pandang, mengucek mata, mencari sesuatu.

“Mencariku?” sebuah suara dari pojokan. Roman terkesiap. Sepertinya tadi tak ada siapapun di sana.

Roman mendekati pojokan itu. Benar! Sagara sudah meringkuk di sana sambil tersenyum. Bulu kuduk Roman mendadak meremang. Meskipun sudah dia rencanakan, tetapi tetap saja dia tak percaya bahwa yang dia pikirkan menjadi kenyataan, kembali bertemu Sagara!

Roman, selain ingin menumpahkan kekesalannya kepada Akmal cs, sebenarnya diam-diam ingin dimasukkan ke dalam ruang isolasi ini. Salah satu cara adalah dengan berbuat jahat kepada Akmal cs. Roman tahu pasti, tanpa Widodo bercerita pun dia akan menjadi tersangka, dan setelah melalui proses intimidasi dia berniat akan mengaku bahwa dirinya adalah pelaku yang membuat Akmal dan Fikri sakit perut hebat. Dengan begitu, dia berharap akan dimasukkan lagi ke ruangan ini untuk bertemu Sagara.

“Kamu siapa sebenarnya? Tak ada santri di sini yang mengenalmu. Kamu tak pernah terlihat di kelas atau aktivitas apapun di pondok ini,” Roman langsung menohok dengan pertanyaan yang selama ini mengganggunya.

Hening beberapa saat. Sagara, remaja kurus itu memandang ke arah depan dengan tatapan kosong. Ujung bibirnya sedikit ditarik ke atas, tersenyum.

“Seseorang menyekapmu di sini? Tapi rasanya tidak mungkin. Kalau menyekapmu, pasti mereka tak mau ada orang lain masuk ke sini, kan?” tanya Roman lagi.

Sagara masih mematung. Membuat Roman sedikit merinding.

“Kamu tahu, hal-hal mistik atau pun hantu, jin, tidak akan membuatku takut. Jadi siapapun kamu, aku tidak takut,” tambah Roman dengan suara sedikit bergetar.

“Aku tahu,” jawab Sagara pendek.

Jawaban itu membuat Roman semakin penasaran. Dia mengambil duduk, bersila tepat didepan Sagara yang duduk menekuk kakinya.

“Jadi apa maumu?” tantang Roman.

Tak ada jawaban dari sosok di depannya.

“Apakah hanya aku yang bisa melihatmu? Apakah ada yang menyakitimu? Apakah kamu butuh bantuanku?” Roman mencecar Sagara dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

Roman kembali teringat cerita Ipul tentang seorang santri seangkatan Ipul atau masuk setahun lalu, yang dianggap sebagai pembangkang, biang onar, selalu melawan, namun nasibnya berakhir tragis dilaporkan tenggelam di sungai belakang Taubah dan ditemukan 500 meter dari titik dia tenggelam. Sejak beberapa malam setelah cerita Ipul itu, Roman tergerak untuk mencari tahu ada apa sebenarnya dengan pondok ini. Rasa penasarannya itulah yang akhirnya mampu mengalihkan fokus Roman yang berniat kabur dari pondok ini. Rasa penasarannya itulah yang membuatnya mengatur skenario, berulah dengan mengganggu Akmal cs, supaya dimasukkan ke ruang isolasi ini dan berharap bertemu dengan sosok kurus yang sekarang duduk di hadapannya ini.

“Tolong bantu aku.”

Deg! Jantung Roman mendadak seperti berhenti. Ditatapnya sosok di depannya. Kurus, mata sayu dan kosong, dengan raut muka selalu terlihat sedih meskipun dia sedang tersenyum sekalipun. Roman mencoba menguatkan dirinya untuk bertahan, meskipun bulu kuduknya tak berhenti meremang.

“Katakan … semoga aku bisa membantumu ….”

Lihat selengkapnya