Roman bergegas menuju ke ruang pengasuh. Dalam perjalanan dari kelas menuju ke ruang pengasuh, dia melihat mobil Toyota Kijang Innova hitam milik keluarganya terparkir di halaman pondok pesantren. Remaja itu heran, kenapa keluarganya mendadak datang? Ada hal penting apa hingga mereka datang? Bukannya kedua orangtuanya justru ingin dirinya menua di pondok? Batin Roman jengkel bila mengingat saat dia dijebak masuk ke pesantren ini.
Diketuknya pintu ruang pengasuh yang sudah terbuka, meminta izin masuk. Mamahnya tampak duduk di samping Papahnya. Tersenyum begitu Roman masuk ke ruangan. Di ruangan itu hadir juga Ustadz Subhan dan Ustadz Ali. Roman mendekat ke Mamah dan Papahnya, lalu mencium tangan mereka satu per satu.
“Ada apa, Mah kok mendadak datang?” tanya Roman.
Mamah tampak memandang ke arah Papah, lalu memandang ke arah Ustadz Subhan dan Ustadz Ali. Belum juga Mamah berbicara, Ustadz Ali langsung membuka suara.
“Roman, hari ini hari terakhirmu di pondok ini. Setelah ini kamu kemasi barang-barangmu, karena Mamah dan Papahmu merasa cukup kamu mondok di sini. Kami pengasuh pondok berharap kamu akan menjadi pribadi yang baik dan sukses di masa depan,” ujar Ustadz Ali.
Lho? Roman kaget. Kok bisa mendadak aku dijemput pulang? Ada masalah apa? Bukannya Mamah dan Papah senang aku di sini? Pikir Roman masih belum percaya.
“Tapi bukannya harusnya saya tinggal di sini lebih lama?” tanya Roman. Satu sisi, sebenarnya Roman menyambut gembira kabar ini. Tetapi di sini lain, dia merasa ada sesuatu yang janggal. Roman juga masih harus menyelesaikan janjinya pada Sagara karena hingga kini tak ada solusi dan tindakan yang diambil oleh pihak pengasuh.
“Kamu sudah siap untuk kembali ke sekolah umum. Papah juga dapat masukan kalau sebenarnya kamu sudah berubah jauh lebih baik,” kata Papah. Roman mengernyitkan dahi merasa aneh kalimat itu keluar dari mulut Papahnya.
“Saudaranya temannya teman Mamah adalah pengurus sekolah swasta yang bagus di Semarang. Kemarin juga nawari, kalau Roman mau sekolah di sana, gampang akan dibantu mengurus semuanya,” imbuh Mamah.
Roman terdiam melihat orang-orang dewasa itu berbicara bergantian. Remaja itu merasakan situasi yang super aneh. Kalimat-kalimat panjang keluar dari mulut orang-orang dewasa yang dia hadapi sekarang. Hingga akhirnya Roman tak tahan.
“Roman tak mau pindah. Capek kali Mah kalau harus sering-sering adaptasi. Mulai lagi dari awal, menata lagi dari awal. Mamah dan Papah nggak kasihan sama Roman?”
Kedua orantua Roman saling berpandangan. Raut wajah Mamah seperti tak bisa membohongi Roman, bahwa wanita itu seperti melakukan sesuatu yang tak sesuai kata hatinya. Seperti orang yang terpaksa.
“Belum juga dua bulan, sudah disuruh pindah lagi. Baru juga mendapatkan teman, eh harus nyari teman-teman baru lagi,” sungut Roman kecewa.
“Yang saya dengar dan lihat, Roman tak memiliki teman satu pun di pondok ini. Akan lebih mudah bagi Roman untuk pindah,” sambar Ustadz Ali. Roman terkejut.
“Hah? Siapa bilang saya nggak ada teman, Tadz?” sergah Roman.
“Coba sebutkan siapa temanmu?” pancing Ustadz Ali.
Glek! Roman terdiam, celingukan, sebelum kemudian berujar, “Ada kok, Tadz. Ipul … dia teman baik saya. Terus ….” Roman terdiam tak mampu melanjutkan. Pada kenyataannya, hampir 1,5 bulan di pondok memang tak banyak yang dia kenal, kalau boleh dibilang tak ada.
“Tuh, kan?” kata Ustadz Ali sambil tersenyum penuh kemenangan.