Roman memandang kedua orangtuanya secara bergantian dengan serius. Untuk pertama kalinya Roman memohon kepada Mamah dan Papahnya untuk mendengarkannya bercerita serius tentang hal yang sangat serius pula. Mereka berada di sebuah rumah makan di Solo setelah penjemputan Roman di pondok pesantren. Roman pula yang memohon untuk tidak segera pulang ke rumah di Semarang dan mencoba mengulur waktu.
“Roman memohon Mamah dan Papah mengizinkan Roman tinggal dulu sementara di rumah Om Anggoro,” pinta Roman. Om Anggoro, adik Mamahnya, bertempat tinggal di Solo yang tidak jauh dari pondok pesantren, meskipun tidak terlalu dekat juga.
“Untuk apa? Kalau cuma mampir oke saja. Tapi kalau kamu mau tinggal sementara, Papah nggak kasih izin. Om Anggoro kan repot punya anak-anak kecil, kasihan kalau kamu bikin tambah repot,” tepis si Papah.
“Kenapa kamu mendadak seperti berat untuk kembali ke Semarang? Bukannya kamu dulu yang nyebut Mamah jahat karena membawamu ke pondok pesantren? Kamu yang mati-matian pengen balik ke Semarang, sekarang kenapa berubah?” tanya Mamah tak mengerti.
Roman terdiam. Sebelum kemudian meminta izin untuk menceritakan sesuatu tanpa boleh dipotong oleh kedua orangtuanya itu. Sang orangtua setuju dan mempersilakan Roman menceritakan apa yang ingin diceritakan. Lalu mengalirkan kisah tentang bagaimana Roman pertama kali masuk ke pondok pesantren, hukuman-hukuman yang dia terima, pertemuannya dengan Sagara, hingga soal permintaan Sagara agar Roman mau menolongnya. Kisah yang panjang itu membuat kedua orangtuanya terkejut, namun mereka telah berjanji tak akan memotong cerita Roman.
Mamahnya sampai melongo mendengar semua cerita anak bungsunya itu. Tetapi seperti perjanjian, dia menaati untuk tidak memotong cerita Roman.
“Roman tau, ini tidak masuk akal. Roman juga awalnya tidak percaya. Tetapi semua yang Roman temui ternyata cocok dengan cerita Ipul. Kalau Mamah dan Papah tidak percaya, Mamah dan Papah bisa cross check ke Ipul. Dari mana Roman tau ciri-ciri Sagara kalau belum pernah ketemu? Ipul aja kaget, Mah,” kata Roman.
Kedua orangtua Roman saling berpandangan satu sama lain. Mamah meraih tangan Roman, lalu menepuk-nepuk perlahan, “Ustadz Subhan sedikit banyak sudah menceritakan kepada Mamah dan Papah semua. Beliau bilang, kamu pasti akan bercerita dan berhalusinasi soal hantu-hantu. Dan benar, kamu bercerita sesuatu yang persis diceritakan Ustadz Subhan saat meminta Mamah dan Papah menjemputmu,” kata sang Mamah.
“Maksudnya?” Roman masih merasa bingung.
“Ustadz Subhan bilang, akhir-akhir ini kamu sering berhalusinasi dan mengaku bertemu hantu, bisa berbicara dengan hantu. Karena itulah Ustadz Subhan meminta kami menjemput kamu, untuk diperiksakan ke ahli jiwa,” kata sang Papah.