Dari dalam mobil, Roman menurunkan kaca jendela, lalu melambaikan tangan ke arah dua orang yang menunggu di depan Indomaret. Siang itu Roman meminta bantuan Om Anggoro untuk menjemput Ipul dan temannya. Mereka berjanji bertemu di depan Indomaret, timur Pasar Sibela. Lokasi itu berjarak sekitar 2 kilometer dari pondok pesantren, yang menurut Roman cukup aman untuk bertemu.
Ipul yang menyadari Roman sudah tiba langsung membalas lambaian tangan. Roman memberi tanda kepada Ipul dan temannya untuk mendekat ke arah mobil. Kedua remaja itu bergegas mendekat ke mobil yang ditumpangi Roman, lalu tanpa diminta membuka pintu mobil bagian belakang dan masuk ke dalamnya.
“Duh, kirain masih lama. Aku sudah khawatir dikuntit sama Akmal cs,” ujar Ipul begitu di dalam mobil.
“Maaf, tadi beli bensin dulu. Pul, kenalin ini Om Anggoro, adik Mamahku,” kata Roman. Ipul menyapa Om Anggoro, sebelum kemudian mengenalkan temannya.
“Ini Raihan, dulu santri di pondok kita, tapi setahun di atasku. Cuma aku sempat kenal juga. Tapi dia nggak lama, setelah ada temannya mati, dia minta keluar dari pondok itu.”
Roman yang duduk di jok depan menengok ke arah belakang, lalu mengulurkan tangan menyalami Raihan, “Met kenal, Han. Aku Roman.”
“Jadi kita kemana nih? Kalau bisa jangan jauh-jauh ya, soalnya sebelum Azhar aku harus kembali ke pondok,” ujar Ipul.
“Kemana, Om?” Roman meminta pertimbangan Omnya.
“Ada nggak jauh dari sini, kedai kopi punya temennya Om,” jawab Om Anggoro. Mobil pun melaju ke arah yang disebut Om Anggoro. Selama perjalanan, tak banyak yang mereka perbincangkan.
Mobil melaju ke arah timur sekitar 500 meter, kemudian berbelok ke arah selatan, sebelum kemudian masuk ke semacam gang yang hanya muat satu mobil. Ternyata itu bukan gang, melainkan akses masuk ke sebuah tempat yang di dalamnya cukup luas. Bisa muat banyak mobil malah. Suasananya asri dengan banyak pohon rindang. Sebuah bangunan model Jawa klasik tak begitu besar berada di tengah-tengah. Beberapa orang terlihat tampak duduk santai di kursi-kursi yang tersedia.
“Ini kedai kopi Panjang Jiwo, punya temenku,” kata Om Anggoro sambil mematikan mesin mobil.
“Kok nggak terlihat papan namanya?” tanya Roman.
“Emang nggak ada. Tapi tempat ini sudah sangat terkenal karena cerita orang, dari mulut ke mulut. Yuk!” ajak Om Anggoro.
Om Anggoro memisahkan diri dan memilih untuk berbincang dengan temannya si pemilik kedai kopi Panjang Jiwo. Sementara Roman, Ipul dan Raihan mengambil tempat di bagian samping agak belakang dan lebih private. Setelah memesan minuman, mereka tak mau membuang waktu, langsung ngobrol.
“Saat kamu masih di pondok, emang juga ada kegiatan susur sungai?”
“Ada. Itu kegiatan yang nggak jelas, nggak ada di kurikulum juga. Ya kayak yang ditanyakan Ipul kemarin itu. Lokasinya persis di belakang kamar Taubah, pas di pohon-pohon bambu itu start-nya. Kalau pas di angkatanku, namanya Andika dari Kuningan, Jawa Barat. Dia anaknya pemberani dan kerap ngotot-ngototan sama Akmal. Berantem sering, tapi yang nggak serem-serem amat. Akmal dulu kan juga belum sedominan sekarang, karena secara umur juga masih lebih muda,” tutur Raihan.
“Sama. Jaman aku masuk awal, lokasinya juga di belakang Taubah itu. Si Andika ini meninggal?” tanya Ipul.
Raihan mengangguk, “Sedih kalau mengingatnya. Jadi waktu itu yang wajib ikut susur sungai, wajib dalam tanda kutip ya, ada sekitar sembilan orang. Dipilih sendiri sama Akmal. Itu musim penghujan 2022, sudah ada santri yang nyeletuk ‘kalau mendadak banjir gimana’ tapi nggak ditanggapi. Air belum tinggi, masih sekitar di bawah lutut atau sebetis gitu,” kata Raihan.
“Kalian nyebur gitu posisi gimana, sih?” tanya Ipul.
“Nyeberang sih sebenarnya. Saling bergandengan. Nah, Akmal minta Andika paling depan, jadi posisinya bawa kayak tongkat estafet tiga puluh centimeter. Nah, di belakang Andika itu adalah Akmal yang memegang ujung satunya tongkat Andika itu. Jadi gini nih,” Raihan memperagakan posisi Andika dan Akmal yang masing-masing memegang ujung tongkat sepanjang 30 cm.
“Begitu seterusnya sampai belakang. Nah, Andika kan sudah nyebur, diikuti Akmal yang sebenarnya posisinya lebih ke pinggir. Mendadak, air bah datang, Andika mau balik gak sempat dan dia keseret arus. Dia masih memegang tongkat itu dan meminta tolong Akmal buat menariknya. Tapi ….”