Kisah Pewaris Cinta dan Harta

Dinar sen
Chapter #13

Keputusan Satria


Setelah lulus kuliah, Satria segera mencari pekerjaan. Ia diterima di sebuah perusahaan teknologi informasi yang sedang berkembang pesat. Dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, Satria cepat beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya. Kesibukan barunya ini sedikit mengalihkan pikirannya dari pencarian orang tua kandung, namun tekadnya tak pernah padam.

Di sela-sela kesibukannya bekerja, Satria mulai menata kembali potongan-potongan informasi yang ia miliki. Ia membaca ulang surat yang ditemukan bersamanya saat bayi, berharap menemukan petunjuk baru. Surat itu hanya berisi beberapa kalimat singkat yang ditulis dengan tergesa-gesa, menyebutkan bahwa ia adalah anak yang ‘disingkirkan’ oleh om dan tantenya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, hanya kata-kata penuh penyesalan dan harapan agar ia dirawat dengan baik.

Satria menyadari ia membutuhkan bantuan. Ia mulai mencari informasi tentang lembaga atau komunitas yang dapat membantunya mencari orang tua kandung. Ia bergabung dengan forum online yang berisi orang-orang dengan pengalaman serupa. Di sana, ia berbagi cerita dan mendapatkan banyak saran, mulai dari tes DNA hingga penelusuran data di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Proses pencarian ini tidak mudah. Seringkali Satria merasa putus asa, ia dihadapkan pada jalan buntu dan informasi yang simpang siur. Namun, ia selalu mengingat pesan Edo untuk tetap fokus dan tidak menyerah. Ia yakin, suatu saat nanti ia akan menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menghantuinya.

"Siapakah orang tua kandungku? dan mengapa mereka meninggalkan aku?"

Di tengah perjuangannya, Satria juga tetap menjalin komunikasi dengan Edo. Sahabatnya itu selalu memberikan dukungan dan semangat, berbeda jauh dengan Dani.

Edo juga membantunya mencari informasi dan menghubungkannya dengan beberapa kenalan yang mungkin dapat membantu. Persahabatan Satria dan Edo semakin erat, setelah sebelumnya sempat renggang karena Dani. Edo bagaikan saudara bagi Satria.

Dukungan Edo, tidak pernah meminta imbal balik.

........

Dering telepon membuyarkan lamunan Satria yang sedang menatap layar komputer. Nama “Bunda” tertera di layar. Senyuman tipis terukir di bibirnya, namun segera berganti dengan rasa sesak di dada. Ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan telepon ke telinganya.

“Halo, Nda?”

“Satria, Apa kabar? Bunda khawatir. Sudah lama kamu tidak pulang.”

Suara Mona, ibu angkatnya, terdengar lirih di seberang sana. Nada cemas yang familiar itu selalu berhasil menusuk hatinya.

“Aku baik-baik saja, Bun. Kerjaan sedang banyak saja akhir-akhir ini,” jawab Satria, berusaha terdengar ceria.

Kebohongan kecil yang selalu ia lakukan agar Mona tidak terlalu khawatir.

“Jangan terlalu memaksakan diri, Sat. Jaga kesehatanmu. Bunda mimpi buruk semalam … tentang … tentang jantungmu …,” Suara Mona tercekat, menahan isak tangis.

Satria terdiam. Kata “jantung” selalu menjadi momok bagi mereka berdua. Sejak umur nya yang menginjak dua puluh tahun, ia divonis menderita penyakit jantung turunan. kondisi kesehatannya harus benar-benar terjaga dengan ketat. Mona selalu dihantui ketakutan akan kehilangan dirinya.

“Bunda jangan khawatir. Aku minum obat teratur kok. Nanti kalau ada waktu luang, aku pulang,” janji Satria, meskipun ia sendiri tidak yakin kapan waktu luang itu akan datang. Kesibukan kerja dan pencarian orang tua kandungnya telah memenuhi seluruh waktunya.

“Janji ya, Nak? Bunda kangen.”

Lihat selengkapnya