Kisah Pewaris Cinta dan Harta

Dinar sen
Chapter #15

Dilema Satria


Suasana hening sejenak setelah Reza menyampaikan maksud kedatangannya. Satria menatap ayahnya, mata sendu. Ia teringat jelas bagaimana Pak Surya, dengan segala kebaikan , mengunjunginya di rumah sakit, bersama sang istri yaitu Tania, menawarkan dukungan dan semangat yang tak pernah pudar. Terlebih Ibu Tania yang sudah menganggap bagai anak sendiri.

“Yah,” suara Satria tercekat, “Aku … aku mengerti maksud Ayah. Kebaikan Pak Surya dan Bu Tania padaku tak bisa kulupakan.” Ia mengusap wajahnya, mencoba mengendalikan emosi yang mulai menguasai dirinya.

Reza menepuk pundak Satria dengan lembut. “Sat, Ayah tahu ini berat. Tapi Pak Surya … kondisinya semakin memburuk. Ia sangat berharap bisa melihatmu lagi sebelum…,” Reza terdiam, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air mata berkaca-kaca di sudut matanya.

"Sebelum apa ayah?" Tanya Satria merasakan sesak di dadanya. Bayangan Pak Surya yang lemah, wajahnya pucat pasi, terbayang jelas di benaknya. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini.

“Tapi Yah,” Satria memulai lagi, suaranya masih bergetar, "ada ... ada hal, yang sulit yah ...” Ia tak mampu mengucapkan kata-kata selanjutnya. Bayangan Dani dan Tiara yang bermesraan, Tiara yang seharusnya menjadi miliknya, menghantam hatinya seperti palu godam.

Reza menatap Satria sendu, "Dani?" Tebak Rezza, Ia tahu betapa pedihnya luka yang masih menganga di hati Satria. “Ayah tahu, Sat. Ini bukan keputusan yang mudah. Tapi Ayah berharap kamu bisa mempertimbangkannya. Bukan hanya untuk Pak Surya, tapi juga untuk masa depanmu. Perusahaan keluarga Eyang Bramono membutuhkanmu, Satria.”

Satria terdiam lama, merenungkan kata-kata ayahnya. Ia terjepit di antara rasa tanggung jawab dan luka hatinya. Di satu sisi, ia ingin membalas kebaikan Pak Surya dan Bu Tania, menjaga warisan keluarga. Di sisi lain, ia tak sanggup menghadapi kenyataan pahit yang akan terus menghantuinya di Jakarta.

Keputusan berat ini harus segera ia ambil, tetapi hatinya masih terbelah. Siang itu, di bawah langit Bandung yang cerah, Satria bergulat dengan dilema yang menghimpit jiwanya.

......

Waktu berlalu.

Hening menyelimuti ruang tamu yang sederhana namun nyaman itu. Aroma teh hangat dan kue kering yang di hidangkan Mona memenuhi udara, menciptakan suasana yang sedikit menenangkan di tengah ketegangan terpendam.

Satria masih termenung, matanya menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang pada sosok Maya yang tiba-tiba muncul kembali dalam ingatannya, setelah sang ayah sebelumnya mendapatkan pesan dari anak majikannya bernama Maya.

Kenangan samar-samar tentang seorang teman kuliah di Jakarta, seorang Maya yang ramah dan cerdas, mulai terurai di benaknya. Apakah dia yang sama?

Rezza, setelah membaca balasan pesan singkat dari Maya, menghela napas pelan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, seakan beban telah sedikit berkurang. “Maaf, Satria,” katanya, suaranya lembut, “Ayah, agak ceroboh. Lupa izin langsung pada non Maya. Untungnya dia mengerti.”

Mona, yang baru saja meletakkan sepiring kue di atas meja, tersenyum hangat. “Sudahlah, Yah. Yang penting semuanya baik-baik saja. Satria, makanlah dulu. Kamu pasti lapar.”

Satria mengangguk pelan, mengambil sepotong kue. Rasa manis kue itu terasa hambar di lidahnya, kalah oleh rasa penasaran yang menggelegak dalam dirinya. Ia ingin bertanya pada ayahnya, ingin memastikan apakah Maya yang dimaksud adalah Maya yang sama yang pernah mengisi sebagian kecil hidupnya di Jakarta. Namun, kata-kata seakan tercekat di tenggorokannya. Ada keraguan, ada rasa malu ingin bertanya, Satria takut sang ayah menggodanya.

“Ayah,” akhirnya Satria memulai, suaranya hampir tak terdengar, “Maya … apakah … apakah dia … teman kuliah ku di Jakarta?”

Rezza menatap Satria, melihat keraguan dan gerogi yang terpancar dari sorot matanya. Ia tahu, pertanyaan itu membuat Satria canggung, ada banyak maksud daripada sekadar rasa ingin tahu.

Lihat selengkapnya