Usai Tania pergi, Satria kembali fokus pada pekerjaannya sebagai CEO. Ia memeriksa dokumen-dokumen yang ada di meja kerjanya, membolak-baliknya dengan seksama. Catatan-catatan yang ia buat dan data yang ia pelajari mulai membentuk gambaran yang lebih jelas tentang kondisi perusahaan. Satria mencoba mencari peluang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, mengevaluasi pola-pola yang bisa dimanfaatkan.
Setelah beberapa jam bekerja, Satria merasa lebih yakin dengan arah yang ingin ia ambil. Ia sudah punya beberapa ide yang ingin ia diskusikan dengan tim manajemen, yakin bahwa dengan kerja sama yang solid, perusahaan bisa meraih kesuksesan yang lebih besar.
Namun, ketika ia mulai kembali fokus, pikirannya tiba-tiba terhenti. Ucapan Tania tentang anaknya yang hilang dan bagaimana ia memandang dirinya seperti Surya masih mengusik pikiran Satria. Perasaan bersalahnya muncul kembali—ia merasa telah bertanya terlalu terburu-buru kepada Tania tentang anaknya. Ia menyadari bahwa itu mungkin mengorek luka lama bagi Tania. Tetapi, ucapan Tania yang menyebutkan bahwa dirinya mirip dengan Surya membuat Satria semakin penasaran. Apakah ada hubungan antara dirinya dan Surya yang belum ia ketahui?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya, membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih besar yang belum terungkap. Adakah hubungan keluarga di balik semua ini? Satria mencoba mengabaikan perasaan itu, berusaha fokus pada pekerjaannya, namun bayangan Tania dan Surya terus mengganggu pikirannya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengesampingkan kekhawatirannya dan kembali fokus pada laporan yang sedang ia kerjakan. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.
Tengah hari, Tania kembali ke ruangannya membawa makan siang.
"Satria, saya bawa makan siang untuk kamu," kata Tania dengan senyum ramah, menyadari bahwa Satria tampak sibuk. "Tadi saya mampir ke tempat rumah makan langganan suami saya, jadi saya beli sedikit untuk suami dan juga untuk kamu. Semoga suka."
Satria menatapnya dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Ibu Tania. Anda benar-benar perhatian."
Tania meletakkan makanan itu di meja Satria dan duduk di sebelahnya. "Saya tidak merasa repot, Satria. Kebetulan tadi beli buat suami saya, jadi saya ingat kamu juga."
Satria tersenyum, lalu Tania menyuruhnya untuk segera makan. Setelah beberapa saat, Tania pamit untuk kembali menemani Surya.
Satria menatap punggung Tania yang semakin menjauh. Pikirannya masih diliputi oleh percakapan tadi. Ada perasaan bahwa kehadiran Tania lebih dari sekadar hubungan atasan-bawahan. Tania sepertinya memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya dalam pekerjaan, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya.
Tanpa sengaja, ingatan tentang orang tua kandung Satria yang belum pernah ia temui sejak bayi kembali muncul. Satria tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuanya atau mengapa ayahnya tidak pernah mau berbicara tentang mereka. Ketika Tania menyebutkan kehilangan anaknya, Satria merasa ada sesuatu yang aneh—ada kemungkinan hubungan yang lebih dalam antara dirinya dan Tania.
Rasa penasaran itu semakin membesar. Apakah mungkin Tania tahu sesuatu tentang orang tuanya yang belum ia ketahui? Apakah ada hubungan antara dirinya dan Tania yang belum terungkap? Pikirannya mulai kacau, dan ia merasa harus mencari tahu lebih lanjut.