Di suatu tempat yang tersembunyi, di antara bayang-bayang dunia yang penuh dengan rahasia, ada sebuah kisah yang masih berjalan. Kisah tentang tiga sahabat yang tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan terjerat dalam benang takdir yang lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan. Naura, Amara, dan Zio, tiga nama yang tampak biasa di permukaan, namun dengan kekuatan dan keputusan yang akan mengubah dunia mereka selamanya.
Kampus, tempat yang semula hanya menjadi latar bagi cerita sehari-hari mereka, ternyata menyimpan lebih banyak daripada sekadar teori dan ujian. Ada sebuah kekuatan gelap yang tersembunyi di balik bangunan tua dan lorong-lorong sepi, yang siap mengguncang segalanya. Dan tanpa mereka tahu, mereka adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah permainan yang sudah dimainkan sejak lama.
Naura, gadis yang dikenal dengan kecerdasannya, tak pernah tahu bahwa kecerdasannya akan membawanya ke dalam pusaran yang lebih gelap. Amara, yang selalu penuh percaya diri, akan mendapati bahwa dunia yang dia kenal bukanlah dunia yang sejatinya. Zio, dengan kepribadiannya yang lebih pendiam, akan menemukan bahwa dalam keheningan, ada suara-suara yang tidak bisa dia abaikan.
Di balik misteri yang membelit mereka, ada Protokol X, sebuah sistem yang telah mengatur takdir dunia mereka tanpa mereka ketahui. Dan ada Damar, sosok yang muncul seperti bayangan dalam kegelapan, dengan rencana yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang bisa mereka bayangkan.
Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari jawaban, tetapi juga tentang menghadapi kenyataan bahwa terkadang, apa yang kita ketahui hanyalah ilusi. Dan di atas segalanya, ada satu hal yang tak pernah bisa dimanipulasi: pilihan. Mereka bisa memilih, meskipun dunia yang ada seolah-olah telah menentukan segalanya.
Cerita ini dimulai dengan langkah-langkah kecil. Namun, seiring berjalannya waktu, langkah mereka akan mengubah jalan takdir. Kebenaran yang tersembunyi akan terungkap, dan dunia yang mereka kenal akan hancur, hanya untuk dibangun kembali. Dengan persahabatan yang menjadi pondasi mereka, dan keberanian untuk melawan takdir, mereka akan berjuang untuk membebaskan dunia mereka.
Mereka akan berhadapan dengan kegelapan yang tak terbayangkan. Tetapi, setiap langkah mereka adalah langkah menuju kebebasan.
Inilah kisah tentang kamu, aku, dan drama kampus ini.
Naura menghela napas panjang begitu menginjakkan kaki di kampus yang baru. Udara pagi yang sejuk memberikan sedikit kenyamanan, meskipun hatinya masih berdebar-debar. Hari pertama kuliah, di jurusan baru, di kota baru, rasanya seperti berada di tempat yang asing. Ia sempat berjanji pada diri sendiri, kali ini semuanya akan berbeda. Tidak ada drama, tidak ada kebingungan seperti dulu.
"Tunggu, itu kan?" Naura membisikkan pada diri sendiri, melihat sosok yang tak asing di ujung taman. Seorang pria tinggi, mengenakan jaket biru dan celana panjang yang pas, tampak berdiri di dekat gerbang. Tak salah lagi, itu Elan Mahardika—sang mahasiswa idola yang selalu ada di setiap cerita gossip kampus. Bahkan dari kejauhan, Naura bisa merasakan aura misteriusnya yang seolah menuntut perhatian.
"Sial, dia lagi..." Naura bergumam. Ia menarik napas lagi dan mencoba mengalihkan perhatian ke teman barunya, Kayla, yang sedang sibuk mencari tempat duduk di kantin. Baru seminggu kenal, tapi Kayla sudah cukup menjadi teman dekat yang bisa diajak ngobrol.
Naura berjalan cepat, berusaha tidak terlalu memperhatikan Elan yang tampaknya tidak pernah mengarahkan pandangannya ke arah mana pun. Itu yang selalu Naura dengar tentang Elan—selalu tenang dan seolah tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal, dia adalah mahasiswa yang sangat berprestasi. Dan itu justru membuat Naura merasa sedikit inferior.
"Naura, sini! Jangan diem aja!" seru Kayla dari meja dekat jendela. Kayla tampak sudah duduk dan melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Naura mengangguk dan bergegas menuju meja.
Sebelum duduk, Naura sempat melirik ke arah Elan lagi, yang kini sedang berjalan menuju gedung utama dengan langkah lambat. Sesekali, beberapa mahasiswa tampak menyapanya, tapi Elan hanya membalas dengan anggukan singkat. Tidak ada senyum. Tak pernah ada.
"Kayla, kamu tahu kan siapa dia? Elan Mahardika, si mahasiswa idola itu," tanya Naura begitu duduk di kursi yang kosong.
"Ya, siapa yang nggak tahu?" jawab Kayla dengan nada santai. "Kamu harus hati-hati, jangan sampai ketemu dia terlalu sering. Kabarnya sih, dia itu misterius banget. Banyak orang yang menghindar dari dia, tapi banyak juga yang suka."
Naura mengerutkan dahi. "Suka? Maksudnya? Dia itu dingin banget, kayak orang nggak peduli."
Kayla tertawa, menyesap jus jeruknya. "Itu yang bikin banyak orang penasaran, Naura. Pria misterius itu selalu punya daya tarik tersendiri. Jangan salah, dia juga sering masuk pemberitaan di media kampus karena prestasinya yang luar biasa. Tapi ya, itu dia... orang-orang cuma tahu sisi luar aja, nggak pernah tahu kisah sebenarnya."
Naura hanya bisa mengangguk pelan. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan tentang Elan. Lagipula, dia tidak punya urusan dengan pria itu, kan? Hari pertama kuliah harus dijalani dengan lancar tanpa drama.
Namun, tak lama setelah mereka duduk dan mulai menikmati makan siang, Naura merasa ada sesuatu yang aneh. Dari jauh, Elan sedang menuju kantin, dan mata mereka bertemu sejenak. Naura buru-buru mengalihkan pandangannya. Canggung rasanya, meskipun hanya sedetik. Kenapa dia merasa ada yang berbeda?
"Kamu kenapa?" Kayla tiba-tiba bertanya, melihat ekspresi Naura yang canggung. "Nggak ada yang aneh kan?"
Naura menggelengkan kepala, mencoba tertawa ringan. "Nggak kok, cuma... rasa aneh aja."
Kayla mengangkat alis. "Hati-hati, Naura. Bisa jadi kamu bakal terlibat drama yang nggak pernah kamu duga."
Naura hanya tersenyum kecut. Drama kampus, ya? Sepertinya itu sudah mulai menyusup ke dalam kehidupannya tanpa ia sadari. Sementara di sudut lain, Elan terlihat memandang mereka dengan tatapan yang sulit dibaca.
Hari kedua kuliah, Naura sudah merasa sedikit lebih nyaman. Kampus ini, meskipun masih asing, mulai terasa lebih akrab. Ia tahu, kalau hari pertama itu penuh dengan rasa canggung dan rasa takut tidak diterima, hari kedua ini harus lebih baik. Namun, kenyataan justru berkata lain.
"Pagi, Naura!" teriak Zio, sahabatnya dari SMA, yang tiba-tiba muncul di depan ruang kelas. Naura tersenyum lebar dan menghampirinya.
"Zio! Pagi!" Naura menyambutnya dengan senang hati. Zio adalah satu-satunya orang yang dia kenal di kampus ini selain Kayla, jadi bertemu sahabat lama membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Mau kemana? Aku nyariin kamu di kantin, eh ternyata udah di sini," kata Zio, sambil menggandeng Naura ke dalam ruang kelas.
"Ah, mau ke kelas nih. Kayla udah masuk duluan." Naura berjalan sambil tertawa kecil, tidak menyangka Zio akan dengan mudah menemukannya. Zio memang selalu penuh kejutan.
Setelah duduk di bangku kelas, Naura mulai melihat beberapa wajah baru. Di antaranya, Elan. Lagi-lagi, matanya bertemu dengan tatapan Elan yang tajam dari ujung kelas. Naura cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan mencoba fokus pada dosen yang sedang menjelaskan materi. Tapi entah kenapa, dia merasa matanya masih tertarik untuk sesekali melirik Elan yang terlihat sedang sibuk dengan laptopnya.
"Dia itu terlalu tenang, ya?" gumam Naura dalam hati. "Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang disembunyikan?"
Ketika pelajaran selesai, Naura buru-buru mengemasi barang-barangnya dan hendak keluar. Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya.
"Naura, kan?" Suara itu terdengar familiar, meskipun Naura tidak bisa langsung mengingat siapa.
Naura menoleh dan terkejut melihat Elan berdiri di belakangnya, dengan senyum datar yang sulit ditafsirkan. "Oh, ya... Elan, kan?" Naura mengingat namanya dengan sedikit gugup.