Kisah Protokol X

Penulis N
Chapter #3

3

Kampus terlihat lebih ramai pagi itu. Naura berjalan dengan langkah mantap, namun pikirannya tak bisa lepas dari apa yang baru saja terjadi. Keputusan yang dibuatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang Kayla dan semua yang terhubung dengan gambar itu terus menghantuinya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik layar kampus ini? Apa yang Adrian dan Kayla sembunyikan?

Hari ini, Naura berencana menemui Kayla. Ia harus berbicara langsung dengannya, mencari tahu dari mulutnya sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Naura berharap, meski situasi semakin rumit, ia bisa membawa Kayla keluar dari semua ini.

Setelah kelas pertama berakhir, Naura memutuskan untuk mengunjungi tempat yang selalu menjadi tempat favorit Kayla—kafe kecil di sudut kampus, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Tempat itu selalu terasa hangat dan nyaman, penuh dengan tawa mereka. Namun, kali ini, suasananya terasa berbeda. Kafe itu terasa lebih sunyi dan sedikit menekan.

Naura berjalan menuju meja yang biasa mereka duduki, namun kali ini ada yang aneh. Seorang pria dengan jaket hitam duduk di sana, membelakanginya. Ketika pria itu menoleh, Naura terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya.

"Adrian..." Naura berkata dengan suara rendah, mencoba menahan rasa terkejutnya.

Adrian tersenyum tipis, seolah tidak terkejut dengan kedatangannya. "Naura, sudah lama tidak bertemu. Kau terlihat sedikit lebih serius belakangan ini."

Naura mencoba menjaga ketenangannya meski jantungnya berdebar. "Apa yang kamu lakukan di sini? Di tempat biasa Kayla?" tanyanya dengan nada yang lebih tajam.

Adrian meletakkan cangkir kopinya, kemudian menatap Naura dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kayla? Dia... tidak bisa datang hari ini. Ada hal yang lebih penting yang dia urus."

Naura merasa ada yang salah. "Kenapa kamu selalu ada di tempat-tempat yang sama dengan Kayla? Apa hubungan kalian sebenarnya?" Naura menahan amarah yang mulai muncul.

Adrian tertawa pelan. "Kau tidak tahu, Naura. Dunia ini lebih rumit dari yang kamu kira. Kadang, hal-hal yang tampaknya sederhana adalah yang paling berbahaya."

Naura menatap Adrian dengan tajam. "Aku tidak peduli dengan kata-katamu. Aku ingin tahu kenapa Kayla tiba-tiba menghilang. Apa yang kalian lakukan dengannya?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ia tahan lagi.

Adrian memandang Naura dengan ekspresi datar. "Kayla adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan kau? Kau hanya gadis yang terjebak dalam permainan yang kau tidak mengerti."

Naura merasa ada sesuatu yang gelap dan menakutkan dalam kata-kata Adrian, dan itu membuatnya semakin waspada. "Jangan anggap aku bodoh. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi pada Kayla, dan jika kau ada hubungannya dengan ini, aku tidak akan berhenti sampai mendapat jawabannya."

Adrian terdiam beberapa detik, lalu mengangguk perlahan. "Jika itu yang kamu inginkan, Naura, maka jalan itu akan lebih berbahaya dari yang kamu bayangkan. Tapi ingat, tidak semua orang yang terlihat baik adalah teman. Dan kadang-kadang, kau harus memilih dengan siapa kau berdiri."

Naura tidak bisa menahan diri lagi. Ia berbalik dan berjalan keluar dari kafe, perasaannya campur aduk. Semua kata-kata Adrian menggema di kepalanya, membuatnya semakin bingung tentang apa yang sedang terjadi. Siapa yang harus ia percayai? Zio, yang memberikan peringatan, atau Adrian, yang tampaknya tahu lebih banyak daripada yang ia kira?

Sesampainya di luar, Naura melihat Zio sedang berdiri di dekat pintu kampus, menunggunya dengan wajah serius. Tanpa banyak kata, Zio mendekat dan bertanya, "Apa yang kamu dapatkan?"

Naura menghela napas panjang. "Adrian bilang kalau Kayla terlibat dalam sesuatu yang besar. Dia nggak menjelaskan apa-apa, cuma bilang kalau aku nggak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

Zio mengangguk pelan, tampaknya sudah menduga itu. "Aku sudah bilang, Naura. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira. Mungkin kita harus berhenti mencari tahu lebih banyak. Ada bahaya di depan kita."

"Tapi aku nggak bisa diam begitu saja," kata Naura dengan tegas. "Kayla adalah teman aku. Aku nggak bisa hanya melepaskannya."

Zio menatap Naura, matanya penuh dengan kekhawatiran. "Naura, kamu harus hati-hati. Ada hal yang tidak kita ketahui tentang Kayla dan Adrian. Dan semakin dalam kamu menggali, semakin besar risikonya. Tidak semua orang di sekitar kita bisa dipercaya."

Naura diam sejenak, berpikir keras. Zio memang benar, semakin ia mencari tahu, semakin banyak hal yang mengkhawatirkan muncul. Tapi ia juga tahu, jika ia berhenti sekarang, ia tidak akan bisa hidup dengan rasa penyesalan.

"Zio, aku harus melanjutkan ini," katanya dengan tekad. "Aku tidak akan mundur."

Zio menghela napas, seolah sudah tahu hasil akhirnya. "Baiklah, Naura. Kalau itu yang kamu pilih, aku akan tetap di sini, tapi ingat, kita nggak bisa kembali setelah melangkah lebih jauh."

Dengan berat hati, Zio melangkah mundur, memberikan Naura ruang untuk membuat keputusan. Naura menatap ke arah kampus, perasaannya semakin berat, tetapi ia tahu satu hal—ia tidak akan mundur. Kayla membutuhkan jawaban, dan ia akan mencapainya, apapun yang terjadi.

Naura berjalan dengan langkah mantap di sepanjang koridor kampus. Hari itu terasa lebih panas dari biasanya, seakan dunia sekitarnya sedang menekan. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Zio dan Adrian, peringatan yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Namun, ada satu hal yang terus mengganggunya: Kayla.

Satu-satunya teman yang selalu ada di sampingnya, kini hilang tanpa jejak, dan Naura merasa bertanggung jawab untuk mencarikan jawabannya. Tapi semakin dalam ia menyelami misteri ini, semakin banyak rintangan yang menghadangnya. Tidak hanya soal Kayla, tapi juga hubungan antara dirinya dan Zio yang kini terasa makin rumit.

Naura memilih untuk menemui Kayla di apartemen yang dulu sering mereka singgahi bersama. Ia berharap, meskipun tak ada jaminan, Kayla akan ada di sana. Namun, ketika sampai di depan pintu, ia terkejut menemukan pintu itu terbuka sedikit, seolah siap menyambutnya.

Tanpa ragu, Naura melangkah masuk.

"Kayla?" Naura memanggil pelan, mencoba memastikan kalau dirinya tidak salah tempat. Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mengisi ruangan itu. Dengan hati-hati, Naura melangkah lebih dalam.

Tiba-tiba, dari balik pintu kamar, suara berderak terdengar, diikuti oleh sebuah langkah kaki yang cepat. Naura hampir melompat kaget, tapi ia menahan diri, berusaha tetap tenang.

"Kayla?" Naura kembali memanggil.

Sosok yang keluar dari kamar bukan Kayla, melainkan seorang pria bertubuh tegap dengan rambut coklat yang sedikit kusut. Naura langsung mengenalnya.

"Adrian," katanya, merasa campur aduk. "Kenapa kamu ada di sini?"

Lihat selengkapnya