Naura dan Zio memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup berisiko. Mereka harus bertemu dengan seseorang yang bisa memberikan lebih banyak informasi tentang Alfred dan proyek rahasianya—seseorang yang jauh lebih dekat dengan sejarah kampus, seseorang yang lebih tahu tentang "proyek" yang tidak pernah diketahui orang banyak.
Namanya Pak Darto, seorang pustakawan senior yang sudah bekerja di perpustakaan kampus selama lebih dari 20 tahun. Pak Darto dikenal sebagai orang yang sangat tertutup dan tidak suka berbicara banyak tentang hal-hal di luar pekerjaannya. Namun, Naura yakin bahwa dia adalah kunci untuk memahami lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi di kampus ini.
Setelah beberapa hari mencari tahu, mereka akhirnya berhasil menemukan waktu untuk bertemu dengan Pak Darto, yang kebetulan sedang bertugas di perpustakaan di akhir pekan.
Di sebuah sudut yang sepi di perpustakaan, Naura dan Zio duduk bersama Pak Darto. Pustakawan itu memandang mereka dengan tatapan tajam, seolah menilai apa yang akan mereka bicarakan.
"Ada apa, kalian berdua? Biasanya mahasiswa tidak datang ke sini di akhir pekan," kata Pak Darto dengan suara datar.
Naura dan Zio saling bertukar pandang sebelum akhirnya Naura memutuskan untuk berbicara. "Pak Darto, kami sedang mencari informasi lebih lanjut tentang sejarah kampus ini. Tentang pendirinya, Alfred, dan proyek-proyek yang pernah ada di sini."
Pak Darto mengangkat alis. "Alfred?" Suaranya tiba-tiba terdengar lebih berat, dan dia terlihat ragu sejenak. "Kenapa kalian tertarik dengan itu? Itu sudah lama berlalu, dan banyak orang lebih memilih untuk melupakan apa yang terjadi."
Zio tidak membuang waktu. "Kami tahu ada sesuatu yang terjadi di balik semua ini, Pak Darto. Kami yakin proyek Alfred itu masih ada jejaknya di kampus ini. Mungkin Pak Darto bisa membantu kami menemukan petunjuk."
Pak Darto terdiam beberapa saat, seolah mempertimbangkan apakah akan berbicara lebih jauh atau tidak. Akhirnya, dengan napas berat, dia membuka mulut. "Proyek Alfred itu... bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng. Banyak hal yang terjadi, dan banyak orang yang terluka karena eksperimen itu."
Naura dan Zio mendekat, menunggu dengan harapan. "Apa yang terjadi, Pak?" Naura bertanya, suaranya hampir berbisik.
Pak Darto menatap mereka dengan tatapan serius. "Alfred adalah seorang jenius, tapi obsesinya dengan kontrol psikologis membawa semuanya ke jalur yang gelap. Dia ingin mengembangkan sistem yang bisa mengendalikan pikiran manusia. Itu bukan sekadar eksperimen biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang melibatkan banyak orang, dan ada bagian dari kampus ini yang mungkin masih terkena dampaknya."
Zio mengernyitkan dahi. "Tapi kenapa itu bisa terlupakan begitu saja? Kenapa tak ada yang membicarakannya?"
Pak Darto menghela napas panjang. "Karena proyek itu dihentikan begitu saja setelah terjadi kecelakaan besar. Tapi beberapa catatan dan penelitian Alfred tetap ada, disembunyikan oleh pihak kampus untuk menjaga nama baik institusi ini. Ada orang yang tidak ingin kebenaran itu terungkap."
Naura merasa cemas. "Tapi siapa yang bisa melindungi rahasia sebesar itu? Dan kenapa kita bisa terlibat?"
Pak Darto menatap mereka, wajahnya serius. "Ada kekuatan besar di balik semua ini. Dan mungkin, kalian berdua tanpa sadar sudah terjebak dalam permainan ini. Kalian perlu berhati-hati."
Zio tampak bingung, tapi Naura merasa ada sesuatu yang menggelitik pikirannya. "Jadi, siapa yang bisa memberi kami lebih banyak informasi? Siapa yang bisa membantu kami?"
Pak Darto menunduk, lalu berkata dengan suara rendah, "Ada satu tempat, tempat yang tersembunyi di kampus ini, yang menyimpan banyak sekali catatan dari masa lalu. Tapi itu bukan tempat yang bisa kalian masuki begitu saja. Hanya orang tertentu yang tahu jalannya. Jika kalian berdua nekat, kalian bisa mencarinya, tapi saya harus memperingatkan kalian—kalian bisa kehilangan lebih dari sekadar informasi."
Naura dan Zio saling memandang. Mereka tahu bahwa ini adalah langkah besar, dan mungkin berbahaya, tetapi mereka tidak bisa mundur. Mereka harus mencari tahu kebenaran, bahkan jika itu berarti menempuh jalan yang penuh misteri dan bahaya.
"Terima kasih, Pak Darto," kata Naura dengan tegas. "Kami akan mencari jalan itu."
Pak Darto hanya mengangguk perlahan, memberi isyarat agar mereka pergi. "Ingat, hati-hati. Kadang kebenaran yang kita cari justru membawa kita pada masalah yang lebih besar."
Naura dan Zio keluar dari perpustakaan dengan pikiran yang penuh kekhawatiran. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan semakin dekat mereka menuju kebenaran, semakin besar bahaya yang akan mereka hadapi. Tapi mereka juga tahu, mereka tidak bisa mundur. Mereka harus melangkah, dan menghadapi apa pun yang menunggu di ujung jalan.
Keputusan sudah diambil. Naura dan Zio tidak bisa mundur. Petunjuk yang diberikan oleh Pak Darto membuat mereka semakin penasaran. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik semua ini, dan mereka tidak bisa hanya duduk diam, mengandalkan informasi yang sudah diketahui orang banyak.
Malam itu, setelah selesai kuliah, mereka bertemu di taman belakang kampus. Tempat ini sering mereka jadikan tempat untuk berdiskusi tanpa takut diganggu. Dengan lampu taman yang remang, suasana terasa lebih mencekam dari biasanya.
Zio tampak gelisah. "Naura, kamu yakin kita harus ke tempat itu? Apa kalau ada orang yang melihat kita? Atau lebih parah, kalau ada yang tahu kita mencari sesuatu yang tidak seharusnya kita tahu?"
Naura mengangguk mantap, meskipun hatinya juga diliputi rasa khawatir. "Kita tidak punya pilihan, Zio. Kalau kita tidak melakukan ini, kita tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Alfred coba sembunyikan dan kenapa sampai Pak Darto pun takut membicarakannya. Aku nggak mau hidup kita terus terjebak dalam kebingungannya."
Zio menarik napas panjang. "Oke, aku ikut. Tapi kita harus hati-hati. Kalau Pak Darto saja takut, pasti ada alasan kuat kenapa."
Dengan perasaan campur aduk, mereka memulai perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa mereka sedang menuju tempat yang tidak akan mereka kembali dengan mudah. Namun, rasa penasaran dan tekad untuk mengungkap kebenaran lebih besar dari rasa takut mereka.
Mereka menuju area kampus yang lebih tua, jauh dari gedung-gedung modern dan ramai. Bangunan ini terlihat seperti sudah tidak terpakai. Temboknya hampir seluruhnya tertutup lumut, dan jendela-jendela besar terlihat berdebu, seakan tidak ada yang pernah memperhatikannya selama bertahun-tahun.