Suasana menjadi semakin tegang saat pria misterius itu melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya terdengar jelas di telinga Naura, seperti denting langkah yang menggema di ruang kosong. Naura bisa merasakan udara di sekitar mereka semakin berat, seperti ada tekanan yang datang entah dari mana.
"Siapa kamu?" tanya Amara dengan suara dingin, tidak menunjukkan rasa takut meskipun jelas ada ketegangan di wajahnya.
Pria itu tidak menjawab segera. Sebaliknya, dia hanya tersenyum tipis, senyum yang terlihat lebih seperti senyum yang penuh perhitungan daripada ramah. Ada sesuatu yang menakutkan dalam sorot matanya. "Aku hanya orang yang tahu lebih banyak dari yang kalian pikirkan," jawabnya pelan, suaranya serak dan misterius.
Naura merasakan ketegangan itu semakin mendalam. Amara yang biasanya tegas kini terlihat sedikit lebih waspada. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Naura, mencoba untuk tetap tenang.
Pria itu mengangkat tangannya, dan sebuah benda kecil jatuh dari saku jubahnya ke lantai dengan suara gemerincing. Benda itu tampak seperti koin, namun Naura merasa ada sesuatu yang aneh dengan benda tersebut.
"Ini bukan sekadar koin," kata pria itu, melihat perhatian Naura tertuju pada benda itu. "Ini adalah pengingat, tanda bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah bagian dari takdir yang lebih besar."
Amara bergerak sedikit, matanya tak lepas dari pria itu. "Apa maksudmu dengan 'takdir yang lebih besar'?"
Pria itu menatap Amara sejenak, lalu tertawa pelan. "Takdir adalah hal yang bisa dimainkan, dan kita semua hanya pion dalam permainan besar. Kalian baru saja memulai perjalanan, Naura."
Naura merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Kamu tahu siapa aku?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Pria itu mengangguk perlahan. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kalian pikirkan. Aku tahu siapa kalian dan apa yang akan terjadi selanjutnya." Dia mendekat, dan kali ini Naura bisa merasakan hawa dingin yang menyertai langkahnya.
Zio yang tadi diam, akhirnya bersuara. "Apa yang kamu inginkan? Mengapa kamu datang ke sini?"
Pria itu menoleh ke Zio, lalu tersenyum lagi. "Aku tidak mencari apa pun. Aku hanya datang untuk memberikan peringatan. Dunia ini bukan seperti yang kalian kira. Ada kekuatan yang jauh lebih besar dari yang kalian bisa bayangkan. Kalian akan segera tahu lebih banyak."
Amara melangkah maju, berusaha untuk tetap tenang meskipun setiap kata pria itu semakin membuatnya curiga. "Kenapa kamu datang sekarang? Kenapa tidak dulu?"
Pria itu berhenti beberapa langkah di depan mereka dan menatap mereka dengan tatapan yang sulit dimengerti. "Karena saatnya sudah tiba. Takdir kalian sudah diputuskan. Dan tidak ada yang bisa mengubahnya."
Naura merasa kakinya semakin lemas. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa pria ini dan apa hubungannya dengan semua yang mereka alami?
Zio berdiri tegak. "Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak punya waktu banyak."
Pria itu mengangkat tangannya dan mendekatkan koin yang tadi ia jatuhkan ke Naura. "Kalian harus berhati-hati. Bahaya datang dalam bentuk yang tidak kalian sangka. Tidak semua orang yang ada di sekitarmu bisa dipercaya."
Dengan kata-kata itu, pria misterius itu berbalik dan mulai berjalan menjauh. Naura, Amara, dan Zio hanya bisa menatapnya, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka tahu bahwa dunia yang mereka kenal selama ini tidak lagi sama.
Setelah pria itu menghilang dari pandangan mereka, suasana kembali menjadi sunyi. Naura merasa seperti ada banyak hal yang belum terungkap, dan setiap jawaban hanya membawa lebih banyak pertanyaan.
"Apa yang dia maksud dengan 'takdir yang lebih besar'?" Naura akhirnya bertanya, memecah kesunyian yang mencekam.
Amara menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Naura. Tapi sepertinya kita sedang berada di tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan."
Zio memandang Naura dengan tatapan serius. "Kita harus siap menghadapi apa pun yang datang. Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak."
Naura mengangguk pelan, merasa berat di dada. Semua yang terjadi sepertinya semakin rumit, dan jawaban yang mereka temukan malah membawa mereka ke dalam pusaran yang lebih dalam.
"Apakah kita bisa menghadapinya?" Naura bertanya pada dirinya sendiri, meskipun pertanyaan itu lebih ditujukan untuk hatinya sendiri.
Amara memandangnya, memberi senyuman tipis. "Kita tidak punya pilihan selain terus berjuang."
Naura terjaga pagi ini dengan perasaan yang campur aduk. Tidur malam itu tidak bisa disebut sebagai tidur yang nyenyak, banyak bayangan pria misterius itu yang terus menghantui pikirannya. Takdir yang disebutkan, serta peringatan tentang bahaya yang datang dalam bentuk yang tak terduga, terasa seperti ancaman yang begitu nyata.
Pagi itu, Naura memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal. Ia merasa ada yang harus ia selesaikan, seperti ada petunjuk yang harus ditemukan, namun ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Amara sudah menunggu di kafe kampus seperti biasa. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya, namun tetap ada sedikit senyum saat Naura mendekat. "Bagaimana tidurmu?" tanya Amara dengan nada menggoda, namun Naura bisa merasakan ketegangan yang masih ada di udara.
"Tidak terlalu baik," jawab Naura singkat, duduk di seberang Amara. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menanti kita. Seperti... kita sedang di ujung jurang, dan tak tahu kapan kita akan jatuh."
Amara mengangguk, matanya berkilat dengan tekad. "Aku merasakannya juga. Pria itu bukan sembarang orang, Naura. Dan peringatan yang dia berikan... itu mengganggu."
Naura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dia maksud dengan takdir? Dan kenapa dia muncul sekarang?"