Malam itu, setelah menemukan catatan dan buku di rumah tua itu, Naura, Amara, dan Zio tidak bisa tidur. Pikiran mereka terperangkap pada apa yang telah mereka temukan, dan rasa cemas yang menyelimuti hati mereka seakan tak bisa diredakan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka sudah memasuki babak yang jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.
Mereka memutuskan untuk bertemu keesokan harinya di kafe dekat kampus. Naura duduk di pojok kafe, menatap cangkir kopi di depannya tanpa benar-benar meminumnya. Amara duduk di seberangnya, menyandarkan punggungnya ke kursi, sementara Zio sibuk mengamati orang-orang di sekitar mereka.
"Jadi... apa langkah kita selanjutnya?" tanya Zio dengan nada tenang, meskipun jelas ada kegelisahan di matanya.
Amara menghela napas panjang. "Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang Gandalf Alvera dan apa yang sebenarnya dia lakukan. Kita perlu tahu siapa dia sebenarnya dan apa yang ingin dicapainya."
Naura menatap Amara dengan serius. "Apakah kamu yakin kita bisa melakukannya? Apa yang kita temukan di rumah itu... itu jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Mereka berusaha mengendalikan takdir, dan itu... itu sangat berbahaya."
"Ya," jawab Amara dengan tegas. "Tapi kita tidak punya pilihan. Kalau kita tidak berhenti sekarang, akan ada lebih banyak orang yang menjadi korban. Kita harus berani menghadapinya, apapun risikonya."
Zio menatap Naura. "Apakah kamu siap? Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang masa depan semua orang."
Naura mengangguk perlahan, meskipun di dalam hatinya masih ada rasa ragu. "Aku siap. Tapi kita harus tahu lebih banyak. Apa yang kita temukan itu baru permulaan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi."
Tiba-tiba, ponsel Amara berbunyi, memecah keheningan di meja mereka. Amara menatap layar ponselnya dan wajahnya berubah serius. "Ini dari nomor yang tidak dikenal."
Zio melihat Amara dengan cemas. "Apa itu?"
Amara tidak segera menjawab, tapi akhirnya memilih untuk mengangkatnya. "Halo?"
Suara di ujung telepon terdengar berat, hampir seperti terengah-engah. "Amara. Naura. Zio. Aku tahu kalian sudah dekat dengan kebenaran. Tapi berhati-hatilah. Gandalf Alvera bukan orang yang bisa kalian hadapi begitu saja. Jika kalian ingin selamat, lebih baik berhenti sekarang."
Amara menundukkan kepala, mencoba meresapi setiap kata yang didengar. "Siapa ini?"
Suara itu tertawa kecil, terdengar seperti sindiran. "Aku hanya orang yang tahu lebih banyak dari yang kalian kira. Waktu kalian hampir habis. Kalian masih punya kesempatan untuk mundur."
Telepon terputus begitu saja.
Amara menatap ponselnya, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Naura dan Zio menatapnya, tidak mengerti apa yang terjadi.
"Siapa itu?" tanya Naura, suara penuh kekhawatiran.
Amara menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke luar jendela kafe. "Aku tidak tahu. Tapi mereka tahu kita sedang mencari tahu tentang Gandalf. Mereka memperingatkan kita untuk berhenti."
Zio mengernyitkan dahi. "Ini sudah terlalu jauh. Kita tidak bisa mundur sekarang."
Naura mengangguk setuju. "Kita harus menemui Gandalf. Kita harus tahu siapa dia dan apa yang sebenarnya dia rencanakan."
Amara mengangkat wajahnya dan menatap Naura dan Zio dengan tatapan yang tegas. "Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan. Kalau kita salah langkah, kita bisa kehilangan lebih dari sekadar kebenaran."
Tiba-tiba, ponsel Zio bergetar, dan dia melihat layar yang menunjukkan sebuah pesan singkat. Matanya memusat pada pesan tersebut, dan ekspresinya berubah menjadi serius. "Ada sesuatu yang lebih dari ini."
Naura mendekat dan melihat layar ponsel Zio. Pesan itu singkat, hanya berisi satu kalimat: "Gandalf sudah tahu kalian sedang mencarinya. Waktunya habis."
Kata-kata dalam pesan yang Zio terima seakan menggantung di udara, mengguncang ketenangan yang sebelumnya terasa di antara mereka. Naura dan Amara menatap Zio, yang tampak tertegun sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke ponselnya.
"Apa maksudnya?" tanya Naura, suaranya hampir berbisik. "Bagaimana bisa Gandalf tahu kalau kita mencarinya?"
Zio tidak langsung menjawab. Dia menatap layar ponselnya beberapa detik lagi, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Kemudian, dia menghela napas dan meletakkan ponselnya di atas meja.
"Ini bukan kebetulan," kata Zio dengan suara serius. "Gandalf sudah tahu setiap langkah kita. Sepertinya ada seseorang di luar sana yang memberitahunya tentang kita."
Amara menggigit bibirnya, merasa kecemasan yang mendalam. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu. Jika dia tahu kita sedang mencarinya, berarti dia juga tahu apa yang kita temukan. Dia akan mengambil langkah untuk menghentikan kita."
Naura merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita harus bergerak lebih cepat, kan?"
Zio menatap mereka, matanya penuh tekad. "Tidak ada pilihan lain. Kita harus menghadapi Gandalf. Kita tidak bisa mundur sekarang. Dia akan terus mengikuti kita jika kita tidak menghadapinya."
Namun, rasa takut dan kebingungannya tak bisa dipungkiri, meskipun dia mencoba menunjukkan keberanian. "Tapi bagaimana caranya? Kita bahkan tidak tahu di mana dia sekarang."
Amara mengangguk setuju. "Kita harus mencari cara untuk menghubunginya. Mungkin ada seseorang yang bisa memberi kita petunjuk lebih lanjut."
Tiba-tiba, ponsel Amara berbunyi lagi, dan kali ini bukan sebuah pesan, melainkan panggilan suara.
"Amara," suara yang terdengar di ujung telepon itu membuat Amara terdiam sejenak, wajahnya terkejut. "Aku tahu kalian mencari saya."
Amara menggenggam ponselnya erat-erat. "Siapa ini?"
"Ini saya," suara itu terdengar familiar namun tegang. "Gandalf."