Langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong gelap gedung arsip yang mulai terasa pengap. Setelah menyimpan salinan beberapa dokumen penting, Naura, Zio, dan Amara kembali menyusuri jalan keluar dengan satu tujuan: menemukan lokasi yang disebut dalam catatan terakhir—"Titik Shift."
Zio berhenti di bawah lampu temaram lorong kampus dan membuka berkas yang sempat ia simpan di dalam jaketnya. "Di catatan ini disebutkan sebuah tempat: Kamar 0. Tapi kampus kita tidak punya ruang bernama begitu. Tidak pernah ada nomor nol."
Naura menggigit bibir, merenung. "Atau mungkin... ruang itu memang disembunyikan. Tidak masuk dalam denah resmi. Kita butuh peta asli bangunan ini, yang lama. Sebelum renovasi kampus besar-besaran."
Amara menepuk pelan punggung Zio. "Kamu pernah bilang gedung rektorat lama masih menyimpan cetak biru kampus. Kalau kita ingin tahu di mana ruang itu berada, kita harus ke sana."
Tanpa buang waktu, mereka bertiga bergegas menuju gedung rektorat yang sudah tidak difungsikan sejak bertahun-tahun lalu. Matahari mulai terbenam, menciptakan siluet menakutkan dari bangunan tua yang berdiri angkuh di ujung kampus.
Ketika mereka memasuki bangunan itu, debu dan aroma kayu tua menyambut. Langkah kaki mereka menimbulkan bunyi berderit dari lantai kayu lapuk. Di lantai dua, mereka menemukan ruang dokumentasi lama—penuh lemari berkarat dan kertas yang menguning.
Naura menarik salah satu laci besar. "Ini... cetak biru kampus tahun 1990."
Zio membuka gulungan kertas besar itu di atas meja. Mereka bertiga menelusuri denah demi denah. Amara menunjuk ke sebuah ruang kecil di bawah tanah, tak terhubung ke koridor manapun. "Ini dia. Ada ruang kecil di bawah Gedung Filsafat Lama. Tertulis: Ruangan Uji Fase 0. Mungkin ini yang dimaksud 'Kamar 0'."
Naura menelan ludah. "Gedung itu sudah lama ditutup."
Zio mengangguk. "Dan tidak ada mahasiswa yang diizinkan ke sana. Tapi kita tidak punya pilihan lain."
Malam itu, di bawah cahaya bulan pucat, mereka menyelinap ke gedung Filsafat Lama. Lampunya mati total, dan debu memenuhi setiap jengkal ruangan. Tangga darurat menuju bawah tanah tertutup papan kayu, dipaku rapat.
Zio mengambil linggis dari tas kecil yang ia bawa. Dengan suara berderak, papan-papan itu lepas satu per satu. Aroma lembap langsung menyergap begitu pintu menuju bawah tanah dibuka.
Mereka menyalakan senter, dan perlahan menuruni anak tangga sempit yang seakan tak pernah berakhir. Lorong di bawah tanah itu berliku dan penuh jaring laba-laba. Dindingnya lembap dan catnya mengelupas. Di ujung lorong, terdapat sebuah pintu logam besar tanpa gagang.
Naura mendekat. Di tengah pintu itu, tertempel simbol yang sama dengan yang mereka lihat di arsip: segitiga dalam lingkaran, disilang dua garis diagonal. Simbol eksperimen Bima.
"Bagaimana kita membukanya?" tanya Amara dengan suara menegang.
Zio memeriksa sisi pintu dan menemukan lubang kecil. Ia mengeluarkan kartu akses yang mereka temukan di ruang arsip.
Klik.
Pintu itu terbuka sedikit, berderit dan menciptakan gema panjang yang memekakkan telinga. Mereka melangkah masuk. Ruangan itu dingin, dindingnya berlapis logam, dan di tengah ruangan ada sebuah kursi tua dengan sabuk pengikat. Di sekelilingnya, banyak layar yang telah mati dan alat-alat tak dikenal.
Di dinding belakang, tertulis dengan cat merah tua:
"FASE 0 ADALAH KEBANGUNAN. SIAPA YANG TIDAK SIAP, AKAN MENGHILANG."
Naura mendekati meja kontrol, dan secara refleks menekan tombol yang masih menyala merah.
Brzzzt.
Layar menyala. Gambar hitam putih memperlihatkan ruangan yang sama, tapi dari sudut berbeda. Ada rekaman lama. Di dalam rekaman itu, duduklah seseorang di kursi eksperimen. Wajahnya tertunduk, tampak lemah. Kamera memperbesar wajah orang itu—dan mereka semua menahan napas.
"Gandalf," bisik Naura.
Amara memelototi layar. "Dia... dia pernah menjadi subjek? Tapi sekarang... dia yang mengatur semuanya?"
Zio menyambung, suaranya pelan. "Atau... dia tidak pernah keluar dari eksperimen ini. Dia hanya naik ke level berikutnya."
Sebuah suara rekaman terdengar dari pengeras suara tua di sudut ruangan.
"Shift akan dimulai dalam 72 jam. Subjek tersisa: 3. Pemicu telah diaktifkan. Selamat datang di Fase Terakhir."
Suasana ruangan seketika berubah. Cahaya bergetar. Layar menampilkan peta kampus yang berkedip merah di beberapa titik. Kamera-kamera tersembunyi memperlihatkan mahasiswa lain yang mulai bertingkah aneh, seperti dalam trans.
Naura menoleh pada kedua temannya. "Kita subjeknya. Kita tidak hanya menemukan jawaban. Kita masuk ke dalam permainan yang baru saja dimulai."
Alarm merah di layar terus berkedip, disertai suara monoton dari sistem yang memperingatkan tentang "aktivasi fase." Naura berdiri terpaku, matanya menatap layar yang kini memperlihatkan wajah-wajah yang dikenalnya: mahasiswa, dosen, bahkan beberapa petugas keamanan kampus. Mereka semua terlihat berjalan seperti dalam hipnosis, menuju arah yang sama—pusat kampus.
Zio meraih mikrofon tua di sisi meja kontrol dan mencobanya. "Tes... satu dua..."
Tidak ada tanggapan dari luar.
"Komunikasi mati," gumamnya. "Kita tidak bisa memperingatkan siapa pun."
Amara memutar rekaman yang tersisa di sistem, mencoba mencari petunjuk lain. Di antara file-file usang itu, mereka menemukan satu video rahasia yang belum pernah dibuka.
Judulnya hanya satu kata:
"Finalis."