Langit biru di atas kampus yang baru terasa terlalu terang bagi mata mereka yang terbiasa hidup dalam bayangan keraguan dan ilusi. Namun, cahaya itu juga menyimpan kehangatan yang lama tak mereka rasakan. Dunia ini, yang lahir dari benturan dua realitas, kini perlahan belajar menjadi satu kesatuan yang utuh—tanpa dikendalikan sistem, tanpa menjadi tiruan dari masa lalu.
Naura duduk di bangku taman, di bawah pohon yang dulunya tidak pernah tumbuh di tempat itu. Daunnya hijau tua, dengan bunga-bunga kecil berwarna keunguan yang beraroma manis. Ia menuliskan sesuatu di buku catatannya, buku yang entah bagaimana selamat dari semua kekacauan.
"Kadang-kadang, kita harus membiarkan sesuatu retak agar cahaya bisa masuk."
Naura menutup bukunya pelan, lalu menoleh saat langkah kaki mendekat.
"Kau menulis lagi?" Zio datang dengan tangan membawa dua gelas minuman dingin. Ia menyerahkan satu ke Naura.
Naura menerima dengan senyum kecil. "Tentu saja. Dunia ini terlalu sunyi tanpa cerita."
Zio duduk di sampingnya. Pandangan mereka menyapu taman kampus yang kini kembali diisi oleh mahasiswa, guru, dan kehidupan yang terasa lebih... manusiawi. Tidak sempurna. Tapi nyata.
"Amara di ruang komunitas," kata Zio. "Katanya dia ingin memulai ulang klub literasi, tapi kali ini terbuka untuk semua jurusan."
Naura mengangguk. "Kedengarannya seperti ide yang sangat Amara."
Zio tertawa kecil. "Dan kau? Mau ikut lagi?"
Naura berpikir sejenak. "Mungkin. Tapi aku juga ingin buat sesuatu yang baru. Bukan hanya menulis cerita... tapi juga menyimpan cerita orang lain. Membuat ruang agar mereka bisa tumbuh dari luka, seperti kita."
Zio menatap Naura dalam-dalam. "Kau memang berubah. Tapi tetap Naura yang aku kenal."
"Dan kau," Naura membalas, "masih Zio yang keras kepala... tapi sekarang hatimu lebih terbuka."
Angin berhembus pelan. Sebuah kelopak bunga ungu jatuh di pangkuan Naura. Ia mengambilnya, lalu berdiri.
"Ayo," ajaknya, "kita ke ruang komunitas. Dunia ini baru saja tumbuh. Dan kita harus merawatnya."
Di ruang komunitas, Amara sedang menata rak buku sambil tertawa bersama beberapa mahasiswa baru. Di papan tulis, tertulis besar: "Forum Cerita Kita: Semua Suara Penting."
Begitu melihat Naura dan Zio masuk, Amara langsung melambai. "Akhirnya kalian datang juga! Kita butuh orang yang bisa menulis dokumentasi kegiatan. Dan satu orang lagi untuk jadi mentor diskusi."
Naura mengangkat alis ke arah Zio. "Kau dulu. Aku dokumentasi."
Zio mendesah dramatis, tapi tak menolak. Ia masuk dan duduk di dekat Amara. Naura mengambil kamera digital dari tasnya—kamera lama yang kini bisa berfungsi normal di dunia yang tidak dikendalikan sistem lagi.
Dengan satu klik, ia menangkap momen itu: tawa, cahaya, dan awal baru.
Malam harinya, di atap kampus yang tenang, ketiganya duduk bersisian. Bintang-bintang kembali terlihat. Tidak ada cahaya artifisial, tidak ada distorsi realitas.
"Kita berhasil," kata Amara pelan.
Naura menatap langit. "Belum selesai. Tapi ya... kita sudah sampai di titik ini."
Zio menambahkan, "Sekarang tinggal bagaimana kita tumbuh dari sini. Dunia ini punya retakan, tapi justru di sanalah kita bisa menanam."
Dan dunia pun terus berputar. Tak lagi sempurna. Tapi selalu memberi ruang untuk bertumbuh.
Hari-hari kembali berjalan, tapi tak satu pun dari mereka—Naura, Zio, atau Amara—bisa sepenuhnya kembali ke versi lama diri mereka. Terlalu banyak yang telah berubah. Terlalu banyak yang telah mereka lihat dan rasakan.
Namun, mereka sepakat untuk satu hal: mereka akan menapaki dunia baru ini bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penyintas. Dan setiap langkah mereka kini meninggalkan jejak—bukan hanya di tanah, tapi di hati orang-orang yang mereka temui.
Suatu siang, Naura berdiri di depan kelas yang dulu digunakan sebagai tempat uji simulasi sistem. Ruangan itu sekarang telah dikosongkan dan dirapikan, tapi masih menyimpan sisa-sisa atmosfer yang membuat kulitnya merinding. Di dindingnya masih ada bekas retakan kecil, bekas pertarungan antara kesadaran dan ilusi.
Ia menyentuhnya dengan lembut.
"Masih di sini ya?" tanya suara dari belakang.
Naura menoleh. Kael—salah satu senior yang selamat dari penghapusan identitas sistem—berdiri di sana, membawa map laporan kegiatan kampus.
"Retakan ini?" Naura mengangguk. "Aku tidak mau ini diperbaiki."
Kael mengangkat alis. "Padahal rektorat ingin renovasi penuh."