Setelah keluar dari ruangan yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan, Naura, Amara, dan Zio menyusuri lorong yang semakin gelap. Mereka tahu waktunya sangat terbatas. Setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang tak terungkap, lebih dekat dengan jawaban yang mungkin bisa merubah segalanya.
"Jadi, Protokol X," kata Zio, memecah keheningan. "Apa sebenarnya itu? Mengapa kita menjadi bagian dari semuanya ini?"
Amara berjalan di depan, matanya waspada terhadap setiap sudut yang mereka lewati. "Aku rasa kita belum tahu sepenuhnya. Tapi apa yang aku lihat di terminal itu... mereka punya catatan tentang kita. Semua yang kita lakukan."
Naura menelan ludahnya, merasakan ketegangan yang semakin menghimpit. "Dan mereka memantau setiap gerakan kita. Mereka tahu lebih banyak tentang kita daripada yang kita kira."
Mereka berhenti di sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Naura mendekat dan meraih gagang pintu, namun sebelum ia bisa memutarnya, terdengar suara langkah kaki. Terlalu banyak untuk hanya satu orang.
"Bersembunyi!" Amara berbisik keras, menarik Naura dan Zio ke dalam sebuah sudut gelap.
Naura berdiri dengan hati berdegup kencang, menunggu, mendengarkan. Langkah itu semakin dekat, dan tak lama kemudian, pintu di depan mereka terbuka. Seorang pria berpakaian rapi keluar, wajahnya setengah tersembunyi di balik masker.
Sosok itu tidak sempat melihat mereka, meskipun jaraknya hanya beberapa meter. Pria itu melangkah cepat, menuju lorong yang mengarah ke ruang kontrol yang lebih dalam. Hati Naura berdegup kencang. Mereka hampir terdeteksi.
Zio menatap Naura dan memberi isyarat untuk bergerak. Perlahan, mereka mengikuti pria tersebut, berusaha menjaga jarak agar tidak terdengar.
"Siapa dia?" bisik Amara.
"Entah," jawab Naura, matanya tetap pada pria yang semakin jauh. "Tapi aku merasa... dia bukan orang sembarangan. Dan dia tahu sesuatu yang kita belum ketahui."
Langkah kaki itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang lain. Pintu itu terbuka dengan suara berderit pelan, dan pria tersebut melangkah masuk tanpa menoleh sedikit pun. Naura, Amara, dan Zio menunggu beberapa detik, memastikan situasi aman, lalu segera melanjutkan langkah mereka.
Mereka tiba di depan pintu yang baru saja terbuka, namun kini mereka berdiri di hadapan sebuah lorong yang tampak lebih terang. Tak jauh di depan, pintu dengan tulisan Protokol X terpampang jelas.
"Ini dia," kata Zio. "Ini yang kita cari."
Naura mengangguk, merasakan ada sesuatu yang besar di balik pintu itu, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Dengan tekad yang bulat, mereka melangkah masuk.
Begitu pintu itu terbuka, mereka disambut oleh ruangan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan layar-layar komputer, banyak di antaranya menampilkan grafik, data, dan wajah-wajah yang tidak mereka kenal. Di tengah ruangan, duduk seorang pria berpakaian jas rapi dengan cahaya redup yang menyinari wajahnya. Tatapannya tajam, seolah menilai mereka dari ujung kaki hingga kepala.
Pria itu tersenyum tipis. "Kamu akhirnya sampai juga," katanya dengan suara datar yang penuh perhitungan. "Aku menunggu kalian."
Amara maju selangkah. "Siapa kamu? Apa yang terjadi di sini?"
Pria itu berdiri perlahan, berjalan mendekat. "Nama saya Damar. Dan inilah pusat dari segala yang kalian cari."
Zio mengepalkan tangan. "Apa yang terjadi dengan Protokol X? Apa yang kalian rencanakan?"
Damar tersenyum lebih lebar, namun senyum itu terasa kosong. "Protokol X adalah masa depan. Semua yang kalian alami, semua yang telah kalian temui, hanyalah bagian dari eksperimen yang lebih besar. Kalian—semuanya—hanya pion dalam permainan ini. Dan takdir kalian sudah ditentukan."
Naura merasa nafasnya tercekat. "Apa maksudmu dengan 'takdir'? Apa yang sebenarnya kalian lakukan?"
Damar mengangkat bahu. "Kami hanya menguji potensi manusia. Menggunakan teknologi dan informasi untuk menciptakan dunia baru. Dan kalian adalah bagian dari eksperimen itu."
Naura ingin berkata lebih banyak, tapi kata-kata terasa macet di tenggorokannya. Amara tidak bisa diam lebih lama lagi, dan melangkah maju dengan tegas. "Apakah kamu mengontrol semua ini? Apa tujuan dari semua permainan ini?"
Damar hanya tersenyum sinis. "Tujuan? Tidak ada tujuan selain untuk mengungkapkan potensi yang tersembunyi di dalam diri setiap individu. Kami hanya membantu prosesnya. Kalian hanya perlu menempuh jalan ini lebih jauh."
Zio memandang Damar dengan penuh kebencian. "Tidak akan ada yang memaafkanmu. Kami akan menghentikan ini."
Damar tertawa kecil, matanya menyiratkan ketidakpedulian yang mendalam. "Kalian bisa mencoba. Tapi ingat, kalian sudah terlambat. Protokol sudah berjalan. Ini bukan lagi tentang pilihan."
Naura dan teman-temannya saling bertukar pandang. Mereka tahu, di hadapan mereka kini ada lawan yang jauh lebih kuat daripada yang mereka duga. Tak ada jalan mundur. Ini adalah ujian terakhir mereka.
Udara di ruangan itu terasa semakin berat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka. Naura, Amara, dan Zio berdiri tegak, tak ingin menunjukkan rasa gentar meski lawan mereka berada di depan dengan begitu banyak kekuasaan dan pengetahuan. Damar, sang pria misterius, masih tersenyum sinis, seolah segala hal yang terjadi sudah berada dalam kendalinya.
Naura merasakan ketegangan semakin memuncak. "Apa yang sebenarnya kamu ingin kami lakukan?" tanyanya, suaranya lebih tegas dari yang ia rasakan. Ia tahu mereka sudah terjebak dalam permainan yang jauh lebih besar, namun ia tidak akan menyerah begitu saja.
Damar memandang Naura dengan tatapan yang tajam, seakan menilai seberapa jauh mereka siap untuk bertahan. "Kalian sudah berada dalam jalur yang tak bisa dihindari. Protokol X bukan sekadar eksperimen; itu adalah kunci dari masa depan dunia ini. Semua yang telah kalian pelajari, semua yang kalian temui, adalah bagian dari proses yang telah lama dimulai."
Zio melangkah maju, wajahnya penuh amarah. "Dan kamu merasa berhak mengatur semuanya? Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Damar tidak terganggu oleh kemarahan Zio. "Kami hanya membuka jalan menuju evolusi yang lebih tinggi," jawabnya dengan nada yang sama sekali tidak terburu-buru. "Setiap keputusan, setiap langkah kalian, adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kalian tidak akan bisa menghentikannya."
Amara yang sejak tadi diam, akhirnya berkata, "Jadi, ini semua hanya percobaan? Kami hanyalah bagian dari permainan yang kamu atur?"
Damar mengangguk perlahan. "Benar. Tapi itu bukanlah hal yang buruk. Kami memberi kalian kesempatan untuk lebih dari sekadar bertahan hidup. Kami memberi kalian kesempatan untuk bertransformasi."
Naura merasa ketegangan yang semula ada di udara kini berubah menjadi sesuatu yang lebih kuat. "Kalian memanipulasi kami," katanya dengan marah. "Kami tidak akan jadi alat percobaan kalian!"
Damar tersenyum, dan kali ini senyumnya terasa lebih dingin. "Kalian sudah lama menjadi bagian dari percakapan ini, Naura. Sekarang, kalian hanya perlu menerima kenyataan bahwa ini adalah jalan yang sudah kalian pilih, bahkan jika kalian tidak menyadarinya."
Naura menggertakkan gigi. Ia ingin berteriak, ingin menghancurkan semua ini, namun dirinya sadar, kemarahannya tidak akan membawa mereka ke mana-mana. "Apa yang harus kami lakukan untuk menghentikan ini?" tanyanya dengan suara rendah, berusaha untuk tetap tenang.
Damar mengamati mereka sejenak, dan kemudian berjalan menuju salah satu layar besar di ruangan tersebut. Ia menekan beberapa tombol, dan sekejap layar di depannya berubah, memperlihatkan data dan grafik yang tidak mereka pahami. Lalu, dengan suara yang terdengar lebih serius, ia menjawab, "Kalian tidak bisa menghentikan ini dengan cara biasa. Kalian harus menghadapi inti dari Protokol X itu sendiri. Namun, siap atau tidak, itu adalah pilihan kalian."
Amara melangkah lebih dekat, matanya menyiratkan keberanian meskipun ketidakpastian masih menggelayuti mereka. "Dimana kita bisa menemukan inti itu?"