Layla sudah bersiap pergi ke kios tempat Mak Rusti berdagang, ketika sebuah mobil berhenti di depan rumah. Melihat mobil yang datang Layla sudah tahu kalau pengemudinya pastilah Bram.
Layla masih menimbang apakah dia bisa bersembunyi tanpa terlihat olehnya. Tetapi terlambat Bram sudah keluar dari mobil melangkahkan kaki kearahnya. Dengan agak gugup Layla membetulkan rambutnya yang hanya diikat asal dengan karet.
Layla menghembuskan nafas berharap Bram tidak memperhatikan penampilannya. Bram terlihat rapi dan super ganteng untuk jam sembilan pagi ini. Bram langsung melempar senyumnya yang disambut Layla dengan senyum pula.
“Bram, kok nggak nelefon mau datang?” teriak Layla mendahului.
“Bagaimana mau telefon, orang Hp-mu Off,” teriak Bram juga.
Pertama-tama Layla hanya bisa bengong merasa ucapan Bram benar. Dalam hati ingin meminta maaf telah mematikan handphone-nya. Alasannya banyak hal yang harus dipikirkan. Belum lagi memikirkan bagaimana bisa ketemu Teddy.
“Bagaimana, La? Aku tahu kamu masih ragu padaku,” Bram menagih lagi cintanya yang pernah diutarakan.
Hati Layla menjerit, kamu belum tahu sepenuhnya siapa diriku. Layla selalu berpikir takut membuat orang nantinya kecewa. Perasaan yang sama ketika harus membuat keputusan dengan Ferdi. Andai aku bisa mengungkapkan kata-kata untuk menolak. Tetapi pikiran dan hatinya tidak bisa bekerja sama.
“Bram, aku masih bingung. Ayo kita duduk dulu,” Layla berjalan kembali menuju bangku yang ada di teras kecil rumah Mak Rusti.
“Kamu harus tenang, La …,” kata Bram sambil mengikuti Layla.
Kepala Layla mulai terasa sedikit pusing memikirkan Bram. Dia baru sadar setelah beberapa saat kemudian bahwa Bram telah duduk di bangku dekat dengannya. Ketika Layla menghadap menatapnya, dia menjadi salah tingkah.
“Layla ... kamu baik-baik saja, kan?” tanya Bram membalas menatap wajahnya.
Layla melihat mata Bram yang beberapa detik yang lalu terlihat cerah kini meredup. Sungguh dia tidak mengharapkan laki-laki yang penuh perhatian ini sedih. Tetapi di dalam hati dia hanya berpikir tentang Teddy, bukan yang lain.
“Bram, kamu adalah pemuda terbaik yang pernah kutemui,” kata Layla yang berusaha meyakinkan bahwa sebenarnya bukan karena dia tidak suka pada Bram.
“Sebenarnya ada apa dengan kamu, Layla?” tanya Bram masih memandangi Layla yang memakai baju lusuh dan rambut sedikit acak-acakan. Tidak berdandan sama sekali.
“Oh, bajuku ... sebenarnya mau ganti baju dulu, soalnya aku nggak sempat berdandan, kamu sih datangnya tiba-tiba,” jawab Layla.
“Tadi kamu mau kemana?” tanya Bram lagi. Sepertinya tidak menyadari kalau hari-hari Layla penuh dengan perjuangan. Harus bekerja ekstra keras membantu Mak Rusti untuk dapat mengambil hati keluarga itu.
“Iya, maunya ke kios membantu mak dagang di proyek. Kesibukanku setiap hari kalau nggak ada kerjaan membantu Mak melayani pembeli,” kata Layla menolehkan mukanya ke pintu rumah, “Didalam saja ngobrolnya ....”
“Disini aja nyantai, kok. Nyaman lagi ...,” Bram langsung menyahuti.
“Ya udah kalao nggak mau,” Layla sepertinya memang sengaja membiarkan.
“Kayaknya kamu betah disini, deh,” ledek Bram.
“Betah, sih,” balas Layla menciutkan mulutnya menggigit bibir bawahnya tanda senewen.
“Ya, syukur kalau begitu,” Bram tertawa tetapi sepertinya tidak percaya, “Yakin nggak mau jadi asistenku di kantor?” sambungnya.
Layla tersenyum mendengarnya, “Memang nggak enak jadi orang susah begini, akibatnya dikasihani orang, hehe ...,” ucapnya merendah sambil sedikit tertawa.
“Bukan kasihan tapi menghibur, tau?” sanggah Bram.
“Apa? Menghibur?” Kata Layla membenarkan ke dalam hati. Maka segera mengejarnya, “Kalau begitu apa dong hiburannya?”
“Okey … hiburannya kita akan jalan-jalan pagi ini,” sahut Bram cepat.
Semula Layla berpikir Bram yang terang-terangan mengatakan cintanya hanya karena iseng. Atau Bram hanya mengumbar perasaannya saja karena ingin membuang kejenuhan. Sebab kalau dia mau pasti banyak perempuan yang naksir padanya.
Layla tidak segera menjawab, karena memang tidak berminat pergi dalam keadaan seperti ini. Ketika Bram kembali mengajaknya untuk jalan-jalan, Layla tidak menjawab. Dia hanya berpikir tidak mungkin dia pergi bersama Bram.
“Kamu sadar nggak kalau kamu mengajak aku akan menimbulkan gosip?” katanya masih duduk disamping Bram.
“Kamu khawatir digosipin sama aku?” tanya Bram.
“Bukan itu!” jawab Layla dengan nada menggurui.
“Jadi apa?” desak Bram.
“Kalau kamu membawa aku pergi begitu saja, bagaimana kalau ada orang ngelihat?” Layla memberinya tatapan kecut sebelum melanjutkan, “Orang-orang pasti akan berkata Layla yang di rumah Mak Rusti bisa dibawa pergi. Sedangkan kamu akan disebut sebagai laki-laki yang suka iseng,” jelasnya.
“Tahayul,” komentar Bram.
Mau tidak mau Layla tertawa dengan ucapan Bram. Mungkin sudut pandangnya memang dianggap kampungan. Akan tetapi dirinya merasa wanita yang tidak biasa diajak main-main. Maka dia menjelaskan lagi, “Kamu laki-laki kalau kamu nggak terima, okelah. Tapi aku perempuan nggak bisa dong digampangin.”
Bram mengerutkan keningnya sesaat, seakan-akan dia sedang berpikir, “Kalau soal laki-laki dan perempuan di Jakarta ini pandangannya sama saja. Tapi aku kan jelas-jelas berniat baik. Kalau nanti ada gosip tentu saja gosip yang baik.”
“Mana ada gosip baik, malah jadi fitnah jadinya,” ucap Layla ketus.
Bram masih mengerutkan keningnya, sehingga Layla benar-benar tertawa dalam hatinya. Membiarkan Bram berpikir sepertinya mau menanggapi argumentasinya.
“Kalau begitu kamu orang yang takut gosip. Jadi mulai nanti aku akan mengatakan pada semua orang bahwa kamu adalah pacarku, biar nggak ada gossip lagi. Jadi, kita bisa bebas ketemuan di rumah atau dimana, kek. Bla bla bla...,” lanjutnya lagi.
“Jadi menurut kamu, aku perempuan yang gampang?” Layla pura-pura marah.
“O, tidak. Justeru menurutku kamu termasuk perempuan yang tersulit, hehe ...,” Bram malah tertawa .
“Baiklah, mungkin menurutmu sikapku ini kayak ortodoks, kampungan gitu, kan?”
Tiba-tiba Bram menarik bahu Layla ke pelukannya dan berbisik, “Kamu cewek ortodoks yang paling pintar dan ... yang cantik banget. Aku suka itu ….”
Pada detik itu darah di sekujur tubuh Layla seakan bergejolak. Dia mencoba meringankan suasana pagi ini yang jelas-jelas terasa sepi. Di sekitar rumah ini sering lengang, setiap pagi orang-orang pergi bekerja sebagi buruh.
Pelan-pelan Layla menarik wajahnya dan menatap wajah Bram, “Bram, kamu mau merayu aku?” tanyanya.
“Ya, enggaklah,” jawab Bram.
Tapi dari tatapan matanya Layla tidak terlalu yakin bahwa Bram mengatakan hal yang sebenarnya. Ketika mata Bram masih memandanginya dengan seyum-senyum. Layla segera mengalihkan perhatiannya.