Pramuria (Waitress)

Awang Nurhakim
Chapter #7

Jatuh Hati

Semenjak telah bekerja Layla sengaja me-missed call Hp-nya terhadap panggilan Bram. Alasannya sederhana dia ingin fokus pada pekerjaan. Lebih dari itu dia ingin berkonsentrasi pada Teddy. Sehingga beberapa lama hubungan keduanya terputus.

Saat ini Handphonenya berdering lagi telefon dari Bram. Layla merasa kasihan juga. Bram yang telah berbaik hati dan Layla merasa berhutang budi. Maka dia lalu mengangkat Hp-nya dan menanggapinya dengan baik.

“Hallo … Bram … ini aku .…” sambutnya. 

“Layla, setiap kali aku menelefonmu, selalu saja Hp-mu tidak bisa dihubungi,” Suara Bram dari dalam handphone-nya seakan memprotes, “Aku juga beberapa kali ke rumahmu, tetapi entah kemana saja kamu.”

Layla tersenyum sebentar mendengar protes Bram. Mungkin saja dia sedang tidur ketika Bram kerumahya. Karena jam kerjanya malam, jadi siang dipakai untuk tidur. Mungkin Mak Rusti juga tidak mengatakan apa-apa. Karena Layla berpesan tidak mau diganggu.

“Maafkan aku Bram, aku sedang tidak mempedulikan handphoneku. Aku juga belum punya ketetapan waktu untuk bertemu denganmu,” balasnya berhati-hati.

“La ... Eh, kamu ada dimana, kok disitu ramai banget?” tanya Bram nadanya terkejut demi mendengar suara musik-musik dari dalam Hp-nya. Padahal itu adalah efek suara dentuman dari area diskotik tempat Layla disana.

“Aku di Club Malam, Bram … aku sedang bekerja,” Layla memberitahukan.

“Bekerja?” Bram tambah terkejut.

“Mungkin kamu tahu seperti apa pekerjaanku,” jawab Layla jujur.

“Kan sudah kukatakan, kalau kamu mau bekerja di kartorku masih bisa menerima,” protes Bram lagi dengan nada keras.

“Aku orang yang gaptek, tidak mempunyai basis apa-apa. Bagaimana mau bekerja sepertimu di tempat yang terhormat. Aku menyadari itu, Bram,” Layla berdalih. 

“Aku ingin tahu, kamu bekerja di Club Malam mana?” tanya Bram terdengar antusias.

“Club Malam yang di gerbang masuk proyek re-vitalisasi yang pernah kita lewati dulu.” Layla mencoba menjelaskan.

“Jadi, kamu bekerja di Club Malam yang baru itu?” teriak Bram.

“Benar Bram, hanya di tempat seperti itulah aku bisa bekerja,” balas Layla merasa lega bisa berterus terang pada Bram.

“Aku nggak ngerti, apa sebenarnya yang kamu cari disana?” tanya Bram seperti penasaran.

“Aku nggak mencari apa-apa. Entahlah, jalan hidupku memang seperti ini,” kembali Layla berusaha mengatakan apa adanya.

“Selagi belum terlambat, sebaiknya kamu mengundurkan diri saja,” Suara Bram terdengar lebih tinggi.

“Oh,” Desah Layla dan hanya bisa termenung. 

Setelah beberapa saat Layla diam saja, akhirnya Bram menambahkan, “Kamu bisa kan meninggalkan Club Malam?”

”Aku baru saja masuk bekerja, Bram. Aku baru saja tanda tangan kontrak kerja. Peraturan Club tidak boleh keluar sebelum setahun. Ada sangsi harus ngembaliin semua biaya yang telah dikeluarkan pihak Club,” Layla menjelaskan.

“Nggak apa-apa aku akan bertanggung jawab,” tegas Bram.

“Aku nggak tahu harus bagaimana …” keluh Layla seperti pada dirinya.

“Aku ingin menghilangkan kesan yang kurang baik pada dirimu,” Bram beralasan.

Layla kembali diam, pikirannya kacau setiap kali bertemu Bram. Apalagi mendengar kata-kata Bram yang antusias membuatnya stress. Tapi walau bagaimanapun juga dia tidak bisa bersama Bram.

“Terima kasih Bram, kamu memang selalu baik padaku. Entah bagaimana aku harus membalasnya,” ucap Layla akhirnya.

“Layla, malam ini aku ingin bertemu denganmu.” Bram menurunkan nada suaranya.

“Jangan sekarang Bram, aku lagi sibuk, aku lagi bekerja.” Layla beralasan.

“Kan, sudah kubilang kalau masalah pekerjaan, aku akan bertanggung jawab.” Bram kembali menegaskan.

“Bukan begitu maksudku, Bram. Tapi biarlah aku menjalani dulu kehidupanku saat ini.” Layla tak bergeming. 

“Aku menyayangkan masa depanmu.” Bram masih memaksa.

“Nanti mungkin kita bisa berbicara soal masa depan, tetapi untuk saat sekarang aku belum siap.” Layla tetap pada pendiriannya.

Bram rupanya tidak menggubris kata-kata Layla. Dia bersikeras malam ini juga akan datang ke Club Malam. Karena ada hal penting yang akan disampaikan kepadanya. Layla masih merasa sungkan, lalu meminta besok Bram datang saja ke rumahnya.

***

Sore ini sehabis mandi Layla duduk-duduk di teras depan rumah. Sudah beberapa hari ini dia menunggu kedatangan Bram. Tetapi ternyata Bram masih sibuk sehingga belum bisa datang. Layla pun menyayangkan waktunya Bram hanya untuk menemui dirinya.  

Dia masih menahan lamunannya ketika mendengar deru suara mobil berhenti. Rupanya Bram benar-benar datang. Sebenarnya dia belum siap bertemu dengan Bram. Bajunya amburadul, rambutnya acak-acakan, terlena dalam lamunan sendiri.

“Hey Bram, kenapa sor-sore begini baru datang?” teriaknya salah tingkah. 

 “Ya, karena agak sibuk. Bisanya baru sore ini,” jawab Bram sambil memandangi.

“Memang sudah kuduga, kamu pasti sibuk,” komentar Layla. 

Layla agak tersipu merasa tampil dalam keadaan kusut begini. Segera menyilahkan Bram  duduk di ruang tamu. Dia terus masuk ke kamar mengambil baju dan merapikan rambutnya. Dalam hati menduga, Bram pasrti akan membicarakan pulang kampung.

Sambil mengenakan baju Layla bingung bagaimana harus menjawabnya. Dia mengenakan Blous lengan panjang dengan celana jeans agak ketat. Gaya artistiknya begitu menonjol, sehingga menimbulkan inspirasi tersendiri. 

Tapi rupanya Bram ingin mengajak Layla jalan keluar rumah. Sekalian nanti mengantar Layla kerja. Mau ngobrol di Club pasti nggak bisa leluasa karena Layla sibuk. Mau telefon juga kurang afdol karena ada hal penting akan disampaikan.  

“Kemana Bram acara kita?” senyum tanya Layla.

“Kita mau makan sore dimana?” balik tanya Bram, “Mau di Restoran, di Café, atau di Tenda Lesehan. Sore begini biasanya sudah ramai dikunjungi ibu-ibu yang mencari lauk-pauk.” sambungnya, kelihatan Bram menyerahkan pilihan kepada Layla.

“Terserah kamu-lah Bram,” jawabnya santai.

Lihat selengkapnya