Beberapa hari setelah pertemuan Bram dengan Teddy, Bram menelefon Layla ingin konfirmasi lebih lanjut. Kebetulan siang ini Layla dan teman-temannya ada acara pergi ke Mall untuk Shopping. Mereka sepakat berkumpul di Pos Jaga pintu masuk halaman Night Club. Sambil menunggu teman-temannya Layla pergi ke kantin di sudut halaman. Dia lalu menelefon Bram.
Mengetahui Layla ada disana Bram mengatakan akan datang sekarang juga. Tak lama mobil Bram terlihat memasuki halaman parkir Club Malam. Dia langsung menuju ke kantin untuk menemui Layla. Sambil menarik kursi kemudian duduk mendekat dengannya.
“La, kamu ada hubungan dengan Teddy ya?” Bram mulai mengkonfirmasi.
Layla hanya menganggukkan kepala, meskipun bingung bagaimana akan menjawab pertanyaan itu. Mendengar nadanya bicara menurutnya terdengar Bram sedikit cemburu. Itu artinya Bram belum mengetahui permasalahannya.
“Kayak udah apa saja, jalan pakai menggandeng pinggang.” Lanjutnya seperti memprotes saat Teddy melingkarkan tangannya ke pinggang Layla di lobby malam itu.
Layla kembali hanya tersenyum, mau bagaimana lagi? Sebenarnya dia tidak ingin membuat Bram sampai cemburu. Tetapi dia tahu Teddy memang sengaja memancing reaksi Bram saat itu. Untungnya Bram tidak begitu reaktif sehingga Teddy tidak mempermasalahkan.
“Kok kamu mau sih?” Sambungnya lagi.
“Memangnya kamu tahu Teddy?” Tanya Layla balik dengan nada semakin bingung sekaligus menuduh. Bram mulai turut campur dengan permasalahan pribadinya.
“Kalau sama Teddy ya tahu-lah, tapi nggak kenal betul. Dia anak bos perusahaan stake holder tempat kerjaanku.” Jawab Bram.
“O, begitu?” sahut Layla.
“Tapi nggak tahulah dia seperti anak hilang, nggak mau kuliah, nggak pernah pulang, nggak diurus sama orang tuanya.” Lanjutnya lagi.
“Jadi dia pulang ke rumah siapa?’ tanya Layla heran.
“Nggak jelas, sukanya “nge-gang”, gitu.” Jawab Bram serius.
“Dia bisnis juga kali, ya?” Layla langsung menebak.
“Nggak tahu juga, orang tahunya hanya senang.” Kata Bram nadanya tidak senang.
“Cerita apa kemarin itu?” Layla mencoba mengkonfirmasi lagi.
“Ya, Cuma gitu, katanya kamu dulu pacarnya di sekolah.” Jelasnya, “Kenapa kamu nggak ngasih tahu ke aku?” Sambungnya.
Layla cukup kaget mendengarnya. Selama ini Layla memang menutupi masalahnya dengan Teddy. Itulah kelemahannya tidak pernah berani bercerita tentang Teddy. Bram terlihat tidak menyukai dirinya bergaul dengannya. Satu-satunya alasan yang bisa dipikirkan adalah karena Teddy memang pacarnya di sekolah.
“Dia pacarku di SMA.” Ucapnya membenarkan.
“Jadi, benar begitu ya?” Tanya Bram seakan menegaskan
Layla mengangguk lagi, “Itulah Bram, mengapa aku ke Jakarta, tapi tolong masalah ini jangan di ekspose.” Ucap Layla bersungguh-sungguh.
Bram sedikit terperanga menatap Layla, “Kenapa La? Masalahnya bukan karena dia itu mantanmu, tapi kurasa dia bukan orang baik-baik.” Bram menghentikan sebentar bicaranya, sementara Layla dengan serius mendengarnya, “Kalau bisa jangan terlalu dekat sama dia.” Lanjut Bram dengan nada sedikit keras.
“Aduhhh, memangnya kenapa menurutmu?” Tanya Layla tidak sabaran.
“Setahuku dia itu narkoba, dan suka digosipkan yang macam-macam.” Jawab Bram.
“Aku juga tahu, tapi sekarang sudah baik, kok. Nggak minum, nggak konsumsi itu lagi.” Layla mencoba untuk memberikan pengertian.
“Tapi gosip yang beredar dia juga mafia.” Kata Bram tanpa memandang Layla.
“Yang kutahu Teddy memang Anak gaul.” Sanggah Layla.
“Mungkin saja itu kan hanya modus.” Kini Bram memandang Layla dengan kening berkerut, jelas-jelas membuatnya terkejut karena Layla membelanya.
“Kamu dan Teddy sama-sama jadi orang sukses.” Komentar Layla lagi.
“Kok, kamu ngomong gitu?” Suara Bram mulai agak meninggi. Nadanya terdengar aneh, nada yang tidak bisa ditebak karena tidak pernah didengar sebelumnya dari Bram.
“Baiklah, kita nggak perlu membicarakan dia.” Kata Layla dengan nada setenang mungkin. Layla tidak mau bertengkar dengan Bram. Biarlah mungkin nanti Bram juga akan tahu semua masalahnya dengan Teddy, “Aku tidak ingin berdebat soal dia.” Lanjutnya.
“Ini bukan debat, tapi informasi buat kamu.” Balasnya.
“Ya, aku terima informasi darimu, aku nggak mau gara-gara dia, nanti kamu nggak peduli lagi sama aku.” Layla beralasan yang mungkin masuk diakalnya, Bram terdiam.
“Apa saja yang kamu dengar tentang dia?” tanyanya selanjutnya.
“Banyak,” Jawab Bram polos, “Peminum, pemabuk, narkoba, play boy, itu yang bisa di deteksi. Sayanglah kalau kamu respeck sama dia.” Jelasnya.
Layla tidak bisa berkata-kata. Layla bukanlah orang yang suka jadi pemarah, tapi pada saat ini dia ingin sekali marah pada Bram. Banyak orang mengatakan Teddy seperti itu, dia bisa menerima. Tapi terhadap Bram, entahlah sepertinya dia tidak terima.
“Tapi dia sekarang sudah berubah, Bram.” Layla tak habis mengerti.
“Apanya yang berubah. Kamu gadis baik-baik, jangan menjadi sia-sia hanya karena dia.” tambahnya.
“Kalau kamu nggak percaya, cek aja sendiri.” Layla tak bergeming.
“Seorang pecandu narkoba tidak mungkin secepat ini bisa berubah.”
“Tadinya aku juga nggak nyangka, tapi kulihat dia benar-benar berubah.”
“Kamu yakin, itu?”
“Ya, nyatanya seperti itu.”
Melihat reaksi Layla sepertinya Bram sadar bahwa Layla telah terperangkap Teddy. Layla menunjukkan sikap yang emosional membicarakan tentang dia. Bram jadi berpikir mungkinkah Layla masih cinta sama Teddy?.
“Aku minta maaf kalau pendapatku membuat kamu tersinggung. Tapi semuanya ini kusampaikan karena aku sayang sama kamu.” Ucapnya kemudian.
Meskipun Layla memang kaget dengan apa yang dikatakan Bram tapi Layla tahu diri. Lagi pula itu bukan karena dia kecewa dengan kata-kata Bram. Tapi lebih kepada dirinya sendiri yang berharap Teddy menjadi orang baik.
“Makasih, Bram. Mungkin akan bisa jadi pertimbangan.” Kata Layla lagi pelan.
“Yang penting kamu tahu saja.” Kini Bram coba mencuri pandang ke mata Layla. Tapi nampaknya Layla tidak berani menatapnya.
“Selama ini aku memang berharap bertemu dia. Jujur sebenarnya aku frustrasi saat melihat dia mabuk berat. Tapi sekarang aku menghargai karena dia mau berubah.” Ucap Layla berhati-hati.
“Lalu, apa perasaanmu?”
“Aku cuma berpikir tadinya aku akan melupakan. Tapi ternyata tidak bisa,”
“Kalau begitu silahkan saja...aku nggak mungkin melarangmu.”
“Sekedar kamu tahu saja, Bram. Kenapa sampai saat ini aku nggak bisa membuat keputusan padamu.”
Bram melepas pandangannya dan nampaknya dia mengerti maksud Layla. Keduanya sama-sama terdiam seribu bahasa. Layla melihat beberapa kali mulut Bram terbuka seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menutupnya kembali.