Pramuria (Waitress)

Awang Nurhakim
Chapter #9

Bram atau Teddy

Malam minggu ini sebelum berangkat ke Club, Bram menelefon Layla ingin bicara. Malam ini Bram tidak bisa berlama-lama di Club karena ada pekerjaan. Dia hanya meminta Layla agar meluangkan waktu untuknya.

Layla lalu meminta izin petugas resepsionis memakai tempat di lobby untuk menerima Bram. Setelah menunggu beberapa saat Bram pun tiba. Layla menyambut dengan senyum merasa sudah banyak berhutang budi padanya. 

Di Lobby Bram kembali mempermasalahkan pekerjaannya di Club Malam. Kejadian malam minggu saat itu sebagai bukti, Club Malam bukan tempat yang tepat baginya. Bram juga mengingatkan dampak bekerja di Club Malam sangat tidak kondusif di masyarakat.  

Kemudian Bram mengatakan, menyampaikan pesan dari tante Lissa. Berharap agar Layla bisa bekerja bersama-sama di perusahaan ayahnya. Sebagai pengganti ayahnya yang sekarang dalam keadaan sakit, jadi Layla sebagai penggantinya. 

Namun Layla menjelaskan jalan hidupnya memang sudah seperti ini yang harus dijalani. Tak bisa dipungkiri Bram telah banyak berjasa pada dirinya. Tetapi Layla dengan memohon maaf tidak bisa memenuhi permintaan Bram.

Suasana di lobby memang tidak pernah sepi. Ada-ada saja satu dua orang datang untuk membeli tiket masuk. Tiba-tiba Layla melihat Teddy memasuki lobby dan sepertinya juga mau masuk. Teddy datang sendirian sudah tidak lagi dikawal bodyguardnya. 

“Lala,” tegurnya. Dia terkejut melihat Layla bersama Bram sedang disitu.

Layla tersentak Teddy sudah memanggilnya dan tidak ingin terjadi salah paham. Maka Layla segera bangkit menuntun Bram menuju ke tempat Teddy berdiri. Pada saat bersamaan Hp dari dalam tas kecilnya berdering. Tapi karena fokus pada Teddy, maka dibiarkan saja sampai bunyi Hp-nya berhenti sendiri.  

“Ted, ini Bram. Temanku selama aku di Jakarta,” ucap Layla memperkenalkan Bram pada Teddy, lalu kepada Bram dia juga memperkenalkan, “Bram, kenalin, ini Teddy,” keduanya lalu saling tersenyum.

Ketika Layla memandang keduanya dia hanya bisa mengerutkan keningnya karena bingung. Kini dia menatap tajam bercampur keingintahuan, ternyata keduanya sudah saling mengenal. Reaksi Layla pun bertambah entah senang atau sedih bercampur aduk.

“Ted, Bram telah menolongku, kalau nggak ada dia aku nggak bakalan sampai di Jakarta,” ucapnya lagi.

“Emangnya dia nolong apa?” ketus Teddy, Layla melihat Teddy seperti menahan diri untuk tidak marah pada Bram.

Layla belum sempat menjawab kepalanya sudah terasa sakit. Lalu mencoba menganalisa hubungan Teddy dengan Bram. Tapi tidak satu pun penjelasan muncul di otaknya. Kebetulan Hp yang didalam tas kecilnya berdering lagi. Langsung saja sebagai alasan untuk menjawab telefon, Layla menghindar.

Ternyata yang menelefon tante Farida menanyakan kelanjutan hubungannya dengan Teddy. Dalam hati Layla bimbang, karena dia harus juga memikirkan Bram. Belum juga terjawab pertanyaan itu, tante Farida menyodorkan Anton sebagai alternative pilihannya.

Layla pun bertambah bingung, memikirkan Bram dan Teddy belum selesai, sudah ditambah dengan Anton. Tetapi Anton sama sekali tidak masuk dalam hitungannya. Maka Layla tegas mengatakan tidak menyukai Anton.

Tante Farida sepertinya agak kecewa, tetapi Layla tidak ambil peduli. Perhatiannya tetap focus pada keberadaan Bram dan Teddy. Tampaknya Bram dan Teddy sedang berdiskusi panjang lebar. 

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya sangat serius. Itu terlihat dari cara berdiri Teddy yang tidak terlihat nyaman. Sementara Bram berkali-kali melirikan mata kearahnya. Sebenarnya Layla belum siap menghadapi permasalahan ganda seperti ini. 

Bagaimana mungkin dia bisa dihadapkan pada dua lelaki ini pada saat bersamaan. Apalagi kalau harus memutuskan siapa diantara keduanya yang harus dipilih. Pastinya dia tidak akan bisa membedakan diantara keduanya. Bram atau Teddy.

Bram dan Teddy menurutnya sama-sama ganteng. Tingginya hampir sama, hanya Bram lebih gempal. Pada kontur rambut Teddy agak gondrong, sedang Bram agak ikal pendek. Soal penampilan keduanya sama-sama presstige.

Dalam hatinya Layla tertawa sendiri, apakah dia bisa memilih? Bukankah mereka itu datang dengan sendirinya? Ah, merasa pikirannya terus berimajinasi. Layla kembali perhatiannya pada tante Farida dan ingin menyudahi telefonnya.

Layla menutup telefon sambil menarik nafas dalam-dalam. Lalu mencoba untuk menentukan langkah berikutnya. Tapi sebelum berbuat sesuatu Teddy sudah memanggilnya dan sedang menuju kearahnya. Tapi Bram dicari-cari sudah nggak ada di tempatnya.

“Kamu kenal Bram dimana?” Teddy sepertinya penasaran.

“Di dalam pesawat waktu berangkat ke Jakarta,” Layla menjawab apa adanya.

“Jangan dekat-dekat sama dia, nanti aku cemburu,” ucap Teddy jujur nadanya serius.

Layla pun pura-pura tak mendengarnya, matanya sibuk mencari, “Eh, Bram mana ya?” tanya Layla setengah menebak pasti Bram sudah tahu rahasianya dengan Teddy.

“Lagi ke toilet, aku nggak tahu kalau kamu kenal sama dia,” jawabnya.

Untuk meringankan suasana Layla bertanya, “Omong-omong cerita apa tadi?”

“Cerita? Nggak, nggak ada cerita apa-apa,” jawab Teddy.

“Kayaknya tadi serius,” lanjut Layla

“Kukira tadi dia pelangganmu,” senyum kecut Teddy.

Ketika mendengar penjelasan Teddy, Layla tertawa. Teddy memperhatikan Layla sebelum bertanya, “Ada yang lucu?”

Layla menahan tawanya dan menggeleng sebelum menjawab, “Nggak sih, tapi ya aneh saja masa kamu ngobrol nggak ada fokusnya.” 

“Eh, La ...,” Sebelum Teddy menyelesaikan kalimatnya, Bram sudah muncul kembali sambil melambaikan tangannya. Tanpa disangka-sangka Teddy memegang pinggang Layla untuk menuntunnya berjalan menuju Bram.

“Kalian mau kemana?” tanya Bram setelah Layla dan Teddy sudah cukup dekat. 

“Aku mencarimu, katanya kamu ke toilet,” Layla yang menjawab.

“Aku mau pulang ah, dah ngantuk,” kata Bram seperti menutupi kecemburuannya. Bram sempat melemparkan pandangannya ke pinggang Layla. 

“Kalau aku harus kerja Bram,” Layla menanggapi.

“Ya, udah kerja-lah,” balas Bram ringan.

“Kalau kamu mau masuk nggak usah beli tiket Bram, gratis sama aku,” kata Layla sambil menoleh ke Teddy, “Kalau dia sudah punya free pass bebas keluar masuk.”

“Kalau gratisnya tiap malam, mau-lah ....” sahut Bram sambil tertawa.

Ternyata Teddy juga tertarik untuk ikut tertawa dan semuanya mencair. Dugaan Layla akan terjadi keributan tidak terbukti. Bram memilih pulang dengan alasan mau lembur. Sedangkan bagi Teddy Club Malam seperti sudah menjadi rumah sendiri.

  ***

Beberapa saat setelah Bram pulang, Layla mencoba melupakan. Tapi entah kenapa kepalanya menolak ide untuk itu. Alhasil Layla mengalami kesengsaraan hati yang tidak bisa terobati. Selama ini dia telah membuat Bram kecewa dengan tidak bersedia ditemui. Dan malam ini dia telah membuat kekecewaannya lebih dalam lagi.

Layla sebenarnya juga kecewa karena Bram pulang. Sebenarnya dia masih ingin ngobrol bertiga bersama Teddy. Maka untuk selanjutnya dia pun menjadi terdiam tak tahu harus bagaimana. Sampai beberapa saat masih memandangi kepergian Bram.

“La, kamu kenapa?” tanya Teddy.

Lihat selengkapnya