Beberapa hari setelah peristiwa dengan Teddy di rest stop, Layla tidak berani keluar rumah. Sekujur tubuhnya hancur terutama di leher bekas gigitan Teddy. Sehingga dia harus memakai Neck Cover. Kalau tidak semua orang akan bisa melihat bekasnya.
Layla juga tidak masuk kerja, masih trauma dan shock ngurusin sisa-sisa bekas gigitan. Tidak ada orang lain lagi bagi Layla tempat curhat masalah ini kecuali pada Bram. Tetapi apakah pada tempatnya dia bercerita pada Bram?
Dia mengambil handphonenya bermaksud untuk menelefon. Tetapi beberapa saat kemudian berubah pikiran. Takut hanya akan mengganggu istirahat Bram saja di siang hari ini. Dia pun hanya bisa kembali merenungi nasibnya sendiri.
Namun tanpa disangka sama sekali siang ini Bram datang kerumahnya. Alhasil keduanya kayak saling melepas kerinduannya masing-masing. Rupanya Bram juga pengin bertemu dengan Layla. Karena ada informasi penting yang akan disampaikan.
Saat Layla melepas curhat kasusnya di Rest Stop, bahwa dia hampir diperkosa Teddy. Bram sudah tertawa lebar yang membuat Layla malu sendiri. Bagaimana tidak, ternyata mobil yang membunyikan klakson di belakang mobil Teddy malam itu adalah Bram.
Layla langsung menanyakan, mengapa Bram mengikuti dirinya? Bram menjawab dengan santai bahwa apa yang dilakukan karena rasa sayang padanya. Bahkan Bram mengatakan sudah mencari informasi tentang dirinya ke kampung halamannya.
Layla terkejut Bram telah masuk jauh ke dalam kehidupan pribadinya. Sekarang Layla sadar Bram sudah tahu semuanya siapa dirinya. Tetapi Layla sudah tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Dia sudah menganggap Bram sebagai saudara sendiri.
“Jadi, sekarang kamu sudah tahu siapa diriku, Bram?” ucap Layla terdengar lesu.
“Ya, kamu nggak marah, kan?” jawab Bram ragu.
“Aku mungkin bukan type orang pemarah,” Layla mencoba mencari alasan.
Bram berpikir sejenak melihat perubahan sikap Layla. Wajahnya lebih tampak murung setelah Bram mengatakan sudah pergi ke kampung halamannya. Oleh karena itu Bram bermaksud ingin memberinya semangat.
“Kamu harus percaya diri dan harus bisa menghilangkan rasa bersalahmu,” ucapnya.
“Entahlah, aku sendiri belum yakin pada diriku sendiri,” balas Layla pelan.
“Yang kudengar semua sanak saudaramu sangat menyesali. Sekarang semua berharap kamu segera pulang,” ucap Bram lagi.
“Tetapi aku nggak tahu bagaimana harus menghadapi mereka,” Layla seperti bingung.
“Begini saja ...,” Suara Bram terhenti sebelum meneruskan lagi, “Aku akan pulang untuk menemui ibumu dan keluarga besarnya. Aku minta izin padamu ...,” suara Bram terhenti lagi.
“Minta izin apa?”
“Aku akan katakan, bahwa aku calon suamimu.”
“Tapi aku sudah mempunyai calon suamiku sendiri.”
“Teddy maksudmu?”
“Ya.”
“Teddy urusan kedua, yang penting urusan dengan keluargamu selesai.”
Layla terdiam tidak menjawab. Untuk apa Bram harus mengorbankan diri hanya untuk kepentingannya? Bagaimanapun sebaik-baiknya Bram tidak mungkin dia akan begitu saja menghianati Teddy.
“Bagaimana, La? Aku bersunguh-sungguh,” Bram memastikan.
“Untuk kamu ketahui, Bram. Aku sudah akan menikah dengan Teddy, dan akan memulai kehidupan baru di Batam,” Layla berterus terang.
“Tetapi apakah kamu yakin menikah dengan Teddy?” suara Bram agak meninggi.
Layla terkejut mendengarnya, lagi-lagi tidak bisa menjawab pertanyaan Bram. Dia memang tidak pernah meyakini pernikahan. Bahkan tidak berani memimpikan. Baginya pernikahan adalah impian yang terlalu sempurna.
“Maaf, Layla. Aku tidak bermaksud membenani pikiranmu. Tetapi aku hanya ingin tahu, seberapa jauh pengetahuanmu tentang Teddy?” lanjutnya dengan berhati-hati.
“Apakah salah aku menikah dengan dia?” ucap Layla bertahan.
“Sebenarnya nggak ada yang salah. Tetapi situasi dan kondisi saat inilah yang salah,” kata Bram lagi dengan nada yang serius.
“Aku nggak ngerti, Bram. Apa maksudmu?” Layla sedikit emosi.
“Nah, inilah hal penting … informasi yang akan aku sampaikan,” jawab Bram masih serius.
“Tapi Bram, soal permasalahan pribadiku mungkin sudah tidak terlalu penting lagi bagi kita.” Layla menolak mengira informasi tentang dirinya yang akan disampaikan Bram.
“Ya, tetapi persoalan terhadap Teddy akan menjadi penting buatmu,” sergah Bram.
“Urusan dengan Teddy juga sudah selesai. Aku menyayangkan waktumu hanya untuk mengurusi aku. Sebaiknya kamu pentingkan masa depanmu sendiri.” Layla menatap tajam.
“Ya sudah, kalau nggak mau dengar, terserah saja kamu …,” Bram seperti menyerah.
Layla sadar sejak pertama dirinya mengenal Bram sudah menyukainya. Dia suka wajahnya yang selalu ceria kalau bertemu dengannya. Selalu perhatian dengan apa yang dia butuhkan. Tetapi hari ini dia harus membuat keputusan pada Bram.
“Apakah kamu masih berharap cinta dariku?” tanya Layla tiba-tiba.
Kali ini Bram tersenyum mendengarnya, “Aku memang masih berharap cinta darimu. Akan tetapi seandainya kamu berbahagia bersama Teddy, aku juga rela dan mendukungmu. Akan tetapi ada satu hal yang menjadi pertimbangan …,“ Bram menghentikan ucapannya.
“Teruskan Bram, aku akan mendengarnya,” pinta Layla akhirnya.
“Ada informasi bahwa Teddy saat ini sudah di tetapkan jadi DPO kasus Jaringan Narkotika Internasional,” ucap Bram kemudian.
“Dari dulu aku sudah dengar Teddy masuk DPO, tapi tidak terbukti,” sanggah Layla.
“Tapi ini informasi sudah A1 dari Kepolisian,” Bram menegaskan.
“Bagimana mungkin kemarin aku masih bersama dia?” Layla masih bertahan.
“Penetapan DPO resmi dari Kepolisian diumumkan tadi hari ini. Pastinya Polisi sekarang akan memburunya,” Bram mempertegas.
Layla tidak terlalu terkejut dengan berbagai isu tentang Teddy. Tetapi citra Teddy dimata umum saat ini sudah semakin buruk. Layla hanya meyakini bahwa Teddy sudah menjadi orang baik. Tiba-tiba Bram datang seperti membuyarkan keyakinannya itu.
“Sebelum kemungkinan itu terjadi, seperti janjiku dulu, sekarang aku akan mengajak kamu pulang kampung bersama-sama,” Bram seperti memaksa.