Kisah Seorang Putri Rusa

Veron Fang
Chapter #7

Masih Masa Lalu

“Percuma aku bilang ke Ayahanda tentang rencanaku.” Harry mengembuskan napas berat. Matanya kosong menatap ke rimbunan pepohonan. Hutan terlarang.

“Manusia keras kepala seperti itu mana peduli akan rencanamu. Jika iya, tentu saja aku pun bisa berkeliaran dengan sangat bebas di Kerajaanmu.”

“Hei, cuman kau yang berani bilang dia keras kepala. Kalau Pangeran lain mana berani. Hahaha….”

 “Coba ceritakan padaku bagaimana kau bisa bertemu dengan gadis yang kau ceritakan waktu itu.” Cakra menatap lekat-lekat Harry.

“Random sekali Anda. Tadi membicarakan tentang Ayahanda, sekarang kau sangat ingin tahu gadis itu. Mencurigakan.”

“Apanya mencurigakan? Aku malas membicarakan si keras kepala itu. Dan tentu saja aku sangat ingin tahu gadis itu, mana tahu aku pernah lihat saat aku main kesana kemarin.”

“Wah, kau sudah berani bolak-balik kesana ya? Apakah Ayahanda dan Ibundamu sudah tahu?”

“Kalau itu...sudahlah abaikan itu. Fokus ke masalahmu dong. Cepetan.”

“Ok, ok Pangeran Cakra yang terhormat.” Harry membetulkan posisi duduknya. Duduk di atas bebatuan besar, melipatkan kakinya.

Sambil menatap perbatasan hutan. Ia menerawang dengan kejadian seminggu yang lalu.

“Waktu itu aku merasakan duduk sekedar santai di istana sangat membosankan. Dan hari itu aku memutuskan untuk membantu para penebang pohon. Daripada mereka harus lembur karena permintaan Ayahanda yang tak masuk akal.”

“Hei, cepatlan langsung ke inti cerita. Janganlah bertele-tele.”

“Baiklah, wahai Pangeran Cakra terhormat.”

Memorinya mundur seminggu ke belakang. Saat ia asyik menebang pohon.

“Pangeran, hamba mohon janganlah menebang pohon. Biar hamba saja,” ujar salah seorang tukang penebang pohon. Ia tidak mengenakan satu pun helai baju. Ia hanya mengenakan celana kain tipis pendek berwarna cokelat. Di kepalanya ada kain tipis yang menutupi kepalanya. Tubuhnya kurus nyaris kerempeng. Tubuhnya berguncang. Ketakutannya memuncak.

“Sst, kau takut dengan Ayahanda? Janganlah takut. Tenang saja. Ia sedang sibuk dengan dayang-dayangnya,” Ia menurunkan kapaknya. Menaruhnya di tanah. “Mungkin sekarang mereka sedang berada di permandian air panas,” gumamnya dengan jari telunjuk dan jempol ditempelkan ke dagu.

“Tapi, Pangeran ….”

“Sekali lagi kau ngomong, kapak ini yang akan mendarat di lehermu. Sekarang kau tebang saja pohon yang lain.”

“Itu Pangeran … anu ….”

“Apa? Itu, anu apa? Kalau bicara yang jelas.” Harry mulai kesal. Begini jika Ayahanda tidak mau menyekolahkan warga kasta rendah. Tidak menguntungkan. Malah bisa berdampak negatif bagi kerajaannya sendiri.

“Pohon di area sini sudah terkumpul. Tinggal yang di sebelah sana. Tapi, kami tidak berani, Pangeran.” Seorang hamba yang lain, usianya jauh lebih muda, menghampiri Harry. Ia menunjuk ke hutan terlarang.

“Kalian biasa menebang pohon sampai kesana?” Harry menatap ngeri ke hutan terlarang yang gelap. Padahal suasana masih siang hari, tetapi cahaya matahari susah sekali menembus hutan lebat itu.

“Iya, Pangeran. Tapi akhir-akhir ini peri sering muncul tiba-tiba dan mereka melarang kami untuk menebang kesana. Padahal, jika sesuai perjanjian antar kerajaan, kami belum melewati batas toleransi.”

“Hmm.” Harry menggarukkan jari telunjuk dan jempol ke dagunya. Matanya menatap awas ke arah hutan terlarang. “Baiklah aku akan kesana. Pohon disana memang selalu menghasilkan kayu terbaik. Kalian istirahat saja,”

Seorang hamba yang pertama menyikut lengan hamba kedua, kemudian membuka suara “Pangeran, ada baiknya dilanjutkan besok saja. Pohon di sebelah sana membutuhkan waktu seharian untuk ditebang. Pohon-pohon disana memiliki diameter yang dua kali lipat lebih besar. Hamba takut akan terjadi sesuatu pada Pangeran jika diteruskan kesana. Atau ada baiknya hamba membantu Pangeran,”

“Jangan ada yang melinggar perintah. Sekarang kalian pergi!”

Dua hamba itu saling memandang kemudian pergi tunggang langgang.

“Memangnya seseram apa sih hutan terlarang. Cuman nama doang!”

Aargh.

“Suara apa itu?”

Lihat selengkapnya