Kembali ke masa kini.
Semenjak pertandingan panahan di Kerajaan Aphrodite sepuluh tahun yang lalu. Pangeran Hans dan Putri Rhea tidak pernah bertemu lagi. Mereka menjalani kehidupan mereka masing-masing tanpa berpikir akan bertemu lagi.
“Hei, cepatlah berlari. Nanti buruan kita bisa hilang.” Hans berteriak dengan keras, tatapannya tetap fokus ke arah mangsanya tersebut. Di belakangnya, disusul seorang anak laki-laki berbadan agak pendek dibandingkan Hans. Namun, ia seumuran dengan Hans yaitu berumur dua puluh tahun. Ia terus berlari mengejar tuannya tersebut.
Peluh bercucuran seiring dua orang laki-laki itu berlari. Mereka berlari dari dalam istana, melewati lapangan hijau, bahkan hampir membuat pasar menjadi lintang-pukang akibat ulah mereka. Tetap saja seekor kijang berbadan gempal, yang menjadi buruan mereka, berlari tanpa terkena serangan tombak yang dilempar Hans dan Steve.
Selalu saja tombak yang hendak mereka acungkan ke arah badan kijang berhasil dihindari. Sungguh gesit jika dibandingkan dengan binatang yang biasa mereka tangkap. Tatkala mereka terus berlari semakin lama semakin jauh menjauhi istana. Kini yang berada di samping kiri kanan mereka bukanlah rumah rakyat maupun gerobak-gerobak pedagang pasar, melainkan area yang tercium bau seperti belerang.
Dataran yang semula rata dan penuh dengan ditumbuhi rerumputan. Kini banyak bergelombang dengan banyak dataran tinggi. Tak ada lagi yang namanya rerumputan. Kijang tersebut berlari ke dalam sebuah galian besar berkonsep seperti tangga mengelilingi galian tersebut dengan dasar penuh dengan alat berat untuk penggalian. Adapun beberapa area dikonsepkan seperti tanjakan dan turunan.
“Pangeran, sebaiknya kita pulang. Disini berbahaya.” teriak Steve dari atas galian. Sedangkan Hans terus mengejar buruannya itu, mengikuti setiap langkah kecil yang dihasilkan dari empat kaki mungil itu.
“Kau tetap saja di atas sana seperti yang aku perintahkan. Halangi dia. Jangan sampai lolos.” Hans berlari turun ke bawah. Ia berhasil mencapai dasar paling rendah, kemudian naik lagi dengan memanjat tangga-tangga yang disusun dari batu, jarak antar batu kadang berjauhan, kadang berdekatan. Kini napasnya hampir tersengal-sengal. Bagaimana tidak? Dari sejak tadi siang sampai sore menjelang, mereka belum berhasil menangkap buruannya tersebut. Apalagi kijan ini seperti mempermainkannya. Dia naik dan turun. Sangat lincah.
“Nah, kutangkap kau!” teriaknya cukup keras. Kini kijang tersebut terperangkap di balik kedua lengan Steve. Awalnya ia dapat mengontrol berat badannya. Namun, kijang itu semakin bereaksi dengan cara menggoyang-goyangkan tubuhnya hendak keluar dari cegatan lengan Steve. Untung saja lengannya cukup panjang dan kuat.
Hans hendak menusuk mata tombaknya yang tajam ke arah belakang kijang. Namun, sepersekian detik kijang tersebut berhasil meloloskan diri dari cengkeraman. Sekali lagi berlari kencang. Steve terpelanting ke belakang. Kijang tersebut berlari lebih kencang dari sebelumnya. Alhasil, tombak yang hendak ditusuk Hans meleset dan mengenai pergelangan tangan pengawalnya itu. Cukup dalam tusukannya, sepantaran dengan tombak panjang sepanjang enam puluh sentimeter itu.
“Aargh,” Steve mengerang. Ditambah tombak itu ditarik kembali. Cairan merah langsung memuncrat keluar. Menetes di atas daerah pertambangan.
“Hanya luka kecil. Nanti diobati juga sembuh. Ayo, kita berburu kembali,”
“Pangeran, lebih baik jangan,” Steve mengenggam lengan Hans. Hanya lengan kanannya kini yang masih bisa digunakan dengan baik. “Apakah Pangeran tahu kijang itu berlari kemana?” Perlahan ia bangkit berdiri. Ia berusaha mendapatkan kembali kesadarannya setelah mengalami syok sesaat.
“Jika kita tidak mengejarnya, mana kita bisa tahu ia berlari kemana?”
Steve mengoyak kain lengan bajunya yang panjang. Membungkus lukanya dengan amat kuat, supaya darah tidak mengucur lebih deras lagi. “Disana tak ada tempat lain selain hutan terlarang. Pangeran tidak boleh kesana,”