“Apakah kau benar mengenai ini? Ini seperti jalan jebakan. Tak ada yang mau lewat sini,”ujar Steve pada Sylas.
“Memangnya kau kira para peri itu bodoh? Kau kira mereka akan memasang sebuah gerbang emas supaya manusia bisa masuk ke dalamnya dengan gampang, yang menampakkan jalan setapak di dalamnya? Hanya orang bodoh yang melakukan itu.”
“Yah memang tidak mungkin juga. Jangan kau marah-marah padaku. Aku hanya bertanya. Itu saja.”
Sylas menggeleng-geleng kepalanya. Tingkah Steve membuatnya muak, tetapi ia harus menahan dirinya dan tetap bersikap baik kepadanya.
“Apa kau tahu? Hutan terlarang dibuat seperti labirin rumit. Konon, katanya tidak ada seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup dari sana, kecuali jika ia memiliki hati yang baik dan tidak bermaksud jahat.”
“Apa? Astaga. Bagaimana kalau kita terjebak di dalam sana dan tak akan pernah kembali? Aku tidak mau mati muda, Sylas.”
“Aku sudah menunjukkan jalannya padamu. Sekarang pergilah, beritahu Pangeran Hans apa yang kau temukan. Jangan bilang kalau aku yang membantumu.”
Untung saja instingku benar. Insting hutanku kali ini sangat berguna dan membantu.
“Kau tidak ikut dalam misi ini bukan? Karena Pangeran melarangmu.”
“Memangnya aku akan gentar dengan pernyataan tolakan dari Pangeran. Tentu saja tidak. Tapi aku akan mengawasi kalian dari jauh. Kalau-kalau ada serangan yang tak terduga aku bisa menangani dari jarak jauh.”
“Baiklah!”
Steve menunggang kudanya kembali. Lantas, ia mengarah ke arah gua Selatan.
Sylas tetap berdiri. Tak bergeming. Seculas senyum miringnya terukir di wajahnya.
“Dasar Steve bodoh. Sangat mudah mengelabuinya.”
***
Pukul 04.00
Satu jam sebelum Pangeran Hans selesai bermeditasi. Steve telah sampai di gua Selatan. Menunggu di bibir gua sembari mengikat kudanya di samping kuda Hans. Semilir angin mendesir halus melewati pelipisnya.
“Mengapa angin hari ini begitu kencang dan dingin? Seperti baru saja hujan.”
Dari kejauhan sepasang mata sedang mengintainya, di atas di balik rerumbunan pepohonan. Tak ada yang menyadari. Hans masih di dalam gua dan Steve duduk di bawah sana sembari mengucek matanya.
“Steve, kaukah itu?” Hans berteriak dari dalam gua.