Kisah si Badut Kecil

Dedimas Aldhitto
Chapter #1

Badut Kecil di Lampu Merah

BAB 1

Aku dan Topeng Badut


Topeng badut itu kebesaran buat mukaku.

Kalau kupakai, hidungku jadi susah napas dan mataku cuma bisa ngintip dari lubang kecil. Tapi aku tetap memakainya. Soalnya kalau nggak, aku dan adikku nggak makan hari ini.

Lampu merah di Mampang menyala.

Aku melangkah ke tengah jalan. Aspalnya panas, nembus sol sepatu yang sudah tipis. Musik dari speaker kecil di pinggangku bunyinya cempreng, tapi aku tetap goyang-goyangin badan.

Aku badut.

Bukan karena aku mau.

Tapi karena aku harus.

Beberapa orang di mobil lihat aku. Ada yang senyum, ada yang pura-pura sibuk sama HP. Aku tetap lompat kecil, meski kakiku pegal. Kalau aku berhenti, nggak ada receh yang jatuh.

Ting.

Satu koin jatuh dekat kakiku.

Aku langsung nunduk dalam-dalam, hampir jatuh karena sepatuku kegedean. Tapi aku senang. Satu koin berarti nasi.

Lampu hijau nyala. Aku lari ke pinggir jalan dan buka topengku sebentar. Keringat netes ke mata. Perih. Tapi aku nggak nangis.

Aku sudah gede, kata Ayah.

Padahal umurku baru dua belas.

Rumah kami ada di gang kecil. Dindingnya retak, atapnya bocor kalau hujan. Tapi itu rumahku.

“Ayah…” panggilku pelan.

Batuk Ayah terdengar dari kamar. Aku masuk. Ayah terbaring di kasur tipis, badannya makin kurus tiap hari. Kalau dia senyum, aku malah pengen nangis.

“Capek, Sul?” tanya Ayah.

Aku geleng. “Enggak, Yah. Tadi rame.”

Padahal kakiku gemetar.

Maarif duduk di lantai sambil nulis. Adikku itu masih kecil, tapi matanya pinter.

“Bang,” katanya sambil senyum, “aku dapet nilai bagus.”

Aku usap kepalanya. “Pinter. Terus sekolah yang rajin.”

Dia nengok aku lama. “Abang kapan sekolah lagi?”

Aku diem.

Aku nggak tau jawabannya.

*

Sore itu, aku ke warung buat beli beras. Dari balik rak, aku dengar suara pelan—pelan tapi tajam.

“Kasihan ya anak-anaknya.”

Lihat selengkapnya