Kisah si Badut Kecil

Dedimas Aldhitto
Chapter #2

Pagi yang Terlalu Cepat Dewasa

BAB 2

Pagi Tanpa Seragam


Aku bangun saat langit masih abu-abu.

Bukan karena alarm, tapi karena batuk Ayah yang terdengar dari kamar. Batuknya panjang, berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Aku langsung duduk, mengucek mata, lalu berdiri.

“Ayah?” panggilku pelan.

Aku masuk ke kamar. Ayah membuka mata setengah, wajahnya pucat. Aku ambil air minum dan bantu dia duduk sedikit. Tanganku gemetar, takut salah gerak.

“Nggak usah ke jalan hari ini, Sul,” katanya lirih.

Aku menggeleng. “Nanti Maarif nggak bisa jajan sekolah.”

Ayah terdiam. Tatapannya jatuh ke kasur. Aku tahu, dia benci dirinya sendiri karena cuma bisa terbaring. Tapi aku juga tahu, kalau aku berhenti, semuanya berhenti.

Aku keluar kamar dan melihat Maarif masih tidur, memeluk tas sekolahnya. Tas itu udah sobek di ujung, tapi dia selalu rawat baik-baik. Katanya, itu satu-satunya benda yang bikin dia ngerasa masih kayak anak sekolah beneran.

Aku masak nasi sisa semalam. Kami makan bertiga. Diam. Hanya bunyi sendok dan batuk Ayah sesekali.

“Bang, nanti jemput aku?” tanya Maarif sambil pakai seragam.

“Iya,” jawabku. “Kayak biasa.”

Padahal aku tahu, hari ini aku harus lebih lama di jalan.

Aku nggak pakai seragam sekolah lagi.

Seragamku masih ada, dilipat rapi di lemari kecil. Tapi aku nggak pernah memakainya sejak dua bulan lalu. Kata wali kelasku, aku terlalu sering bolos. Kata aku, aku harus kerja.

Aku pakai kaus lusuh dan celana pendek. Kostum badut sudah tergantung di balik pintu. Bau keringat lama masih nempel, tapi aku tetap memakainya.

Topeng itu berat. Bukan cuma di kepala, tapi di hati.

Aku berdiri di perempatan Mampang lagi. Lampu merah menyala. Mobil-mobil berhenti. Aku mulai joget, lompat kecil, ngelawak dengan tubuh yang sebenarnya capek.

Kadang aku mikir, orang-orang yang ketawa ke aku itu sadar nggak sih…

kalau di balik badut ini cuma anak kecil?

Koin jatuh. Seribu. Dua ribu. Aku kumpulin cepat sebelum lampu hijau.

Siang makin panas. Kakiku pegal. Perutku keroncongan, tapi aku tahan. Aku harus bawa pulang uang.

Aku jemput Maarif di depan sekolah.

Dia lari ke arahku begitu lihat aku. Senyumnya bikin capekku sedikit ilang.

“Bang!”

“Iya.”

Kami jalan bareng. Maarif cerita soal pelajaran, soal temannya, soal cita-citanya. Katanya dia mau jadi guru biar anak-anak miskin bisa sekolah gratis.

Aku cuma dengar. Aku takut suatu hari nanti dia berhenti bermimpi karena hidup terlalu keras.

Sampai rumah, Ayah lagi tidur. Aku hitung uang di lantai. Nggak banyak. Tapi cukup buat makan hari ini.

Malamnya, aku duduk di depan rumah. Angin Mampang bau asap. Aku lihat langit, nggak ada bintang.

Aku inget Ibu.

Bukan karena ada yang ngomong apa-apa. Tapi karena aku lapar, capek, dan pengin ada orang dewasa yang bilang, “Kamu nggak sendirian.”

Tapi nggak ada.

Jadi aku berdiri lagi.

Buat besok.

Buat Maarif.

Buat Ayah.

Dan entah sampai kapan.

*

Seperti biasa, aku terbangun karena dengar suara batuk ayah.

Aku bangkit dari tikar tipis, lalu berjalan pelan ke kamarnya.

Ayah masih terbaring, matanya setengah terbuka. Wajahnya pucat. Aku duduk di samping kasur dan menyodorkan segelas air.

“Minum dulu, Yah,” kataku.

Ayah mengangguk pelan. Tangannya gemetar saat memegang gelas.

Aku menahan napas. Takut airnya tumpah. Takut ayah kenapa-kenapa. Takut semuanya runtuh saat aku belum siap.

Lihat selengkapnya