Jakarta, 01 Mei 2023
Namaku Zainuddin Abdullah, jenis kelamin laki-laki, yang dilahirkan dari rahim seorang wanita cantik yang bernama Rasmi dan seorang laki-laki gagah perkasa yang bernama Abdul, itu Ayahku. Orang-orang memanggilku Zai—kecuali Ibuku tercinta yang memanggilku dengan sebutan Mas Raden—padahal namaku tidak ada berbau Raden, katanya sih itu panggilan kesayangan saja. Aku keturunan blasteran, Jawa dan Sumatra, tapi anehnya Aku lahir di Jakarta. Karena sejak awal menikah, Ayahku memutuskan pindah ke Jakarta memboyong Ibu juga untuk ikut pindah ke sana, membuka usaha rumah makan Padang di daerah Glodok yang ramenya melebihi konser musik. Serius, aku tidak bohong, katanya masakan Ayahku itu sangat enak dan terkenal dengan rendangnya yang tidak ada tandingan, tapi justru menurutku biasa saja, tidak ada spesialnya—maafkan aku, Ayah—tapi memang begitu faktanya.
Aku lahir tahun 1978, tepatnya tanggal 01 Mei yang setiap tahunnya Aku merasa selalu dirayakan oleh penduduk Indonesia, atau bahkan Dunia karena diperingati sebagai hari buruh. Tetapi seram juga, karena mereka berbondong demo bukan memberi kado.
Ibuku, meski sekarang sudah tua tapi beliau pernah muda. Dulu, kata Ibu, sebelum menikah dengan Ayah dan diboyong ke Jakarta, Ibu seorang sinden yang terkenal dengan suara yang bagus, lembut, dan tersohor sampai luar Jawa. Ibu sering dipanggil untuk mengisi acara wayang, opera, dan kadang dipanggil untuk menjadi tamu di keraton kalau sedang ada acara. Bahkan sampai sekarang, kalau tidak sengaja di televisi ada acara wayang, Ibu suka ikut menyemarakkan meski di balik layar kaca.
Sedangkan Ayahku, seorang laki-laki keras dan tegas, bahkan Aku sangat takut padanya dan tidak berani sedikit pun menatap wajah apalagi matanya kalau sedang dimarahi. Ayah selalu mendidikku dengan caranya yang bisa dibilang ‘Kejam' menurutku. Tapi Aku paham, Ayah begitu karena ingin Aku menjadi pribadi yang kuat, tahan banting dan juga tidak takut pada apa pun.
Aku menerima itu semua, karena didikan orang tua tidak akan pernah salah.
Aku selalu berpikir saat Aku kecil; Aku adalah satu-satunya anak yang paling bahagia di muka bumi ini. Aku merasa tidak punya masalah apa pun dengan keadaanku, di setiap hari bahkan setiap waktu. Sejak kecil, Aku selalu dimanja karena kebetulan Aku anak semata wayang yang selalu disayang. Mau apa-apa selalu dibelikan, dengan satu syarat; menurut.
Namun, semua itu berubah, saat aku bertumbuh menjadi seorang remaja. Aku baru sadar; ternyata hidup tidak melulu soal kebahagiaan. Perlahan-lahan masalah datang sedikit demi sedikit. Begitu juga tuntutan dari Ibu dan Ayah yang menuntutku untuk menjadi seseorang yang lebih berguna. Dengan semua keinginannya, dan juga kehendaknya.