Sore itu, hari Senin pada bulan Oktober tahun 1997. Matahari perlahan-lahan sudah mulai kembali ke peraduannya, dia berangsur-angsur turun diiringi sambutan burung-burung saling berbagi kicau silih berganti. Sekarang Aku sedang mengendarai si Otong—motor vespa biruku—dengan sangat perlahan, bukan menikmati perjalanan atau karena macetnya kota Metropolitan, tetapi karena kepalaku sudah mulai pusing tidak karuan sejak di kampus tadi.
Bahkan orang-orang bilang wajahku terlihat sangat pucat seperti mayat hidup. Arif, teman sekelasku bertanya, “Lu sakit, Zai? Mending balik aja sono, daripada di sini lu nanti pingsan berabe lagi.” Tidak Aku dengar. Aku tetap fokus menyimak dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas. Sampai akhirnya jam berakhir pelajaran tiba, Aku buru-buru keluar kelas lebih dulu untuk segera pulang. Karena memang benar, tubuhku sedang tidak fit dan sangat lemas.
Sampai rumah, Aku langsung pergi ke kamar setelah mencium tangan Ibu yang sedang menyetrika baju, sambil bersenandung menyanyikan lagu lingsir wengi dengan suaranya yang lembut. Tapi justru malah bikin Aku merinding mendengarnya. Konon katanya, lagu itu sangat disukai hantu wanita, dan pemanggil hantu yang suka nangkring di atas pohon. Tapi tiap kali Aku tanya Ibu tentang mitos itu, Ibu selalu membantah yang katanya itu lagu banyak maknanya. Entahlah maknanya apa, lagi pula Aku tidak mau tahu soal itu.
Aku berbaring di kamarku yang lampunya redup. Bukan karena mau mati, atau hanya lima watt, tapi Aku memang suka cahaya lampu seperti itu. Tidak terang, yang bisa bikin mataku sakit. Aku memijat dahiku dengan jari-jemari tangan kananku, kedua mataku terpejam. Aku juga tidak tahu kenapa Aku bisa pusing seperti ini. Padahal siang tadi di kampus Aku masih sehat-sehat saja, masih bercanda sama teman-teman dan masih menjahili Bobi si cowok gendut yang hobi menangis.
Apa mungkin Aku kualat, ya, karena sudah menjahilinya? Ah, tapi Arif yang lebih parah menjahili Bobi sampai melorotin celananya di depan cewek-cewek, dia malah sehat-sehat saja.
Enggak tahu, lah, Aku saja bingung. Semakin diperdebatkan semakin Aku bertambah pusing.
Pintu kamarku di ketuk tiga kali...
“Mas Raden, makan dulu, Nak. Ibu sudah masak ikan asin peda kesukaanmu,” Ibu memanggilku dengan suara lembutnya dan logat Jawa yang sangat kental—nyaris tidak terdengar di balik pintu kamarku yang tertutup.
“Iya, Bu,” Aku buru-buru bangun dari tiduranku dan membuka pintu kamar. Benar saja, sudah ada Ibu di sana dengan senyuman manisnya.
“Ayo, Nak, makan dulu,” ajak Ibu sambil menarik tanganku dan berjalan menuju dapur. Jangan aneh kalau Ibu seperti itu padaku, memang setiap hari Ibu selalu begitu. Menjemputku di depan kamar kalau Aku baru pulang ngampus, dan pasti mengajakku makan berdua di meja makan karena Ayah belum pulang.
Kalau soal pegang tangan, Ibu memang seperti itu. Katanya, mau umurku setua apa pun, tetap, di matanya Aku hanya seorang anak kecil yang sangat menggemaskan.
Hahaha!
Di dapur, Aku melihat sudah ada beberapa makanan yang terhidang di atas meja makan. Ada ikan asin peda goreng, sambal terasi, nasi liwet, sate usus ayam dan juga lalapan. Benar-benar menggugah seleraku. Aku segera duduk, sedangkan Ibu mengambilkan nasi liwet untukku dan beberapa lauk-pauk yang ada di sana.
“Bagaimana dengan kuliah kamu tadi, Mas?” tanya Ibu yang duduk di depanku sambil mengambil secentong nasi untuknya.
“Kayak biasa aja, Bu,” jawabku sesaat sebelum menyuap nasi ke dalam mulut.
Ibu tersenyum, masih memandangku dengan sorot mata penuh arti. “Mas Raden ... Ibu mau kamu belajar yang sungguh-sungguh, ya, karena kamu satu-satunya harapan Ibu dan Ayah. Ibu harap, kamu mengerti itu.”
Aku mengangguk mengerti. Walau Aku sebenarnya sudah lelah Ibu bicara seperti itu padaku bahkan hampir setiap hari. Padahal Aku sudah besar, Aku juga tahu kalau Aku anak semata wayang dan jadi harapan besar keluarga. Dan Aku berusaha keras untuk itu—untuk mewujudkan—meski di luar prediksiku sekarang.
“Setelah lulus nanti ... Ibu mau, kamu lanjutkan pendidikan khusus Advokat, ya?”
“Uhuukk....” Tiba-tiba Aku tersedak batuk. Rasanya nasi yang menggumpal dengan lauk-pauk dan sambal itu menyangkut di tenggorokanku sampai terasa sakit. Buru-buru Ibu menyodorkan segelas air mineral kepadaku. Aku melirik Ibu, dengan tarikan napas, Aku tidak menjawab. Aku melanjutkan makan setelah menghabiskan air setengah gelas.
“Ibu sama Ayah sudah pikirkan ini matang-matang. Dan kita sepakat untuk itu—”
“Bu ... maaf, tapi untuk sekarang aku fokus dulu sama kuliahku, ya?” Aku memotong perkataan Ibu, sambil menatap teduh wajahnya. “Kalau soal itu bisa kita bicarakan lagi sama Ayah—nanti—setelah aku semester akhir. Gimana?” Aku mengangkat kedua alisku, tersenyum tipis dan meyakinkan Ibu agar setuju dengan usulku.
Bukannya tidak sopan, Aku tidak siap untuk melanjutkan pendidikan itu. Masalahnya, sekarang saja Aku malas-malasan belajar, di kampus kadang aku memerhatikan dan sering kali tertidur. Sedangkan menurutku pada saat itu, belajar di kelas sangat membosankan, berharap kalau hari demi hari ada perubahan. Tapi nyatanya, tetap sama saja. Dan ini terjadi sebelum Aku cukup dewasa untuk memikirkan lebih jauh tentang masa depan. Benar-benar tidak ada harapan, hanya berharap pada sebuah lonceng yang berbunyi dengan menandakan berakhirnya pelajaran.
Sedangkan harapan Ibu setinggi ini untuk Aku menjadi Advokat. Sepertinya aku tidak bisa.
Aku tidak pandai untuk berdebat, apalagi mengeluarkan pendapat.
Memang, aku masuk ke Fakultas Hukum ini kemauan Ibuku. Tetapi sepertinya, keinginan Ibu tidak sesuai dengan kemampuanku. Meski, awalnya aku merasa senang dan menikmati masa-masa belajarku di Fakultas Hukum, memahami segala apa yang berkaitan dengan hukum di Indonesia. Namun ternyata, bumi terus berputar dan membawaku pada masa di mana rasa lelah dan suntuk menyerangku begitu bertubi-tubi. Hingga ada masa di mana Aku benar-benar lelah dan ingin menyerah saja, memohon ampun pada Ibu kalau Aku tidak bisa memenuhi keinginannya. Bukan apa-apa, tetapi otakku menolak keras jika harus terus-menerus dipaksa untuk memahami semua yang aku tidak mengerti.
Namun niatku untuk menyerah hanya omongan belaka yang tidak pernah Aku utarakan pada Ibuku. Karena Aku tahu, bagaimana perasaan Ibu dan Ayah kalau Aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku tidak mau membuat mereka kecewa.
Ibu tersenyum, namun ada seraut wajah kekecewaan yang terlihat jelas diraut wajahnya sekarang. Aku memang selalu menghindar kalau Ibu dan Ayah membahas soal ini padaku. Iya, Aku mengerti, ini semua demi masa depanku, mereka ingin yang terbaik untukku. Tapi apakah salah, kalau Aku juga ingin mencari jati diriku sendiri?
Sebagai seorang penulis.
Aku tersenyum, mengelus tangan Ibu. Berusaha menenangkan. “Bu ... percaya sama Zai, Zai pasti bahagiain Ibu sama Ayah. Meskipun nggak sesuai sama harapan Ibu nantinya. Karena kita nggak ada yang tahu, kedepannya atau masa depan kita akan seperti apa jadinya."
Terdengar helaan napas panjang Ibu, sebelum akhirnya mengangguk setuju. “Iya, ya sudah, kamu makan habisin. Wajah kamu sudah pucat karena lapar.”
Aku tersenyum. Tapi memang benar sih, setelah makanan masuk ke dalam mulutku, entah ajaib atau kebetulan saja, rasa pusing di kepalaku hilang dalam sekejap seiring Aku mengunyah makanan.
Dan feeling Ibu selalu benar hingga Aku bisa mengambil kesimpulan; kalau sakit kepalaku ini karena lapar, bukan sakit atau kualat.
***
Malam ini, tepat dipukul delapan, dan malam Selasa. Aku dan teman-teman, ada; Budi, Arif, Burhan dan Tono. Kami semua nongkrong di warung kopi dekat kampus. Warungnya enak untuk dijadikan tempat nongkrong karena punya halaman luas. Kami juga suka berkumpul di sana kalau sedang malas masuk kelas. Di sini, Aku bisa mengidentifikasikan diriku bergaul dengan banyak orang dalam suatu keadaan tanpa ada yang mendikteku.
Sebentar, sebelum cerita semakin jauh, Aku ingin membahas sedikit tentang teman-temanku ini. Kalian harus benar-benar mengenal mereka karena mereka akan sering muncul bahkan berpengaruh besar pada ceritaku.
Aku kenal mereka sejak pertama kali masuk, khususnya di masa orientasi study. Lalu berlanjut sampai sekarang. Mereka adalah orang-orang dengan berbagai karakter yang berbeda-beda dan unik tentunya, dari berbagai daerah dan kami mampu menghargai serta melengkapi satu sama lain. Tidak saling menjatuhkan atau menjelek-jelekkan.
Karena kami mempunyai tujuan yang sama; lulus bersama dengan predikat terbaik. Meski malas-malasan dan sering tidak masuk kelas.
Warung kopi ini buka 24 jam nonstop. Asli. Karena pemiliknya tinggal di sana. Kalau ada yang mau menginap juga boleh kata Kang Emil (maaf ya bukan Kang Ridwan Kamil) pemilik warung kopi tanpa nama ini. Orangnya brewokan dan suka curi-curi perhatian alias genit kalau ada cewek yang nongkrong di sana. Makanya warung kopi ini semakin ke sini semakin dominan cowok, karena cewek-cewek pada takut di genitin sama Kang Emil. Katanya sih sesuai survei membuktikan, geli liat brewok Kang Emil yang gondrong banget malah suka bikin ambigu kayak bulu ketek, apalagi kalau udah senyum, bukannya bikin klepek-klepek tapi justru bikin merinding. Itu kata cewek-cewek, sih!