Di malam itu, Aku sedang berada di kamar, mengurung diri di sana ketika Ayah sudah pulang sehingga Aku tidak usah menemani Ibu untuk menonton televisi. Aku duduk di depan meja belajarku, disoroti lampu yang redup dengan suasana hening, sejuknya angin malam adalah waktu yang pas untuk menulis apa yang sudah Aku rasakan ketika pertama kali melihat Anita, serta apa yang sudah Aku alami hari ini. Dan kemudian Aku tuangkan dalam sebuah cerita.
Mungkin di antara kalian ada yang kebingungan dan bertanya-tanya, “Kok seperti perempuan suka menulis?” atau “Kok malah curhat sama buku diary? Ini hanya dilakukan perempuan!” Mungkin ini terlihat seperti hal tak lazim dilakukan laki-laki, apalagi laki-laki seumuranku ini. Namun perlu kalian tahu, ini adalah satu-satunya caraku untuk mengekspresikan diri, melampiaskan rasa lelahku, emosiku, perasaanku dan suntuknya Aku belajar seharian penuh. Apa pun Aku tulis, terlebih tentang kehidupanku. Kalau saja dulu sudah ada internet, mungkin Aku sudah menulis di blog atau platform ke penulisan yang marak seperti sekarang ini.
“Abang....”
Suara Ayah terdengar di balik pintu kamarku yang tertutup. Tanpa sedikit pun Aku terdiam, Aku buru-buru lari membuka pintu karena Aku tidak mau membuat Ayah menunggu. Bukan karena apa, tetapi karena Aku takut kena omelnya.
“Iya, Yah, ada apa?” tanyaku saat melihat Ayah sudah berdiri di depan pintu dengan memasang raut wajah dinginnya yang khas.
“Keluar,” Ayah menggerakkan kepalanya, sebagai isyarat Aku harus cepat-cepat mengikuti langkahnya.
Tanpa bertanya, Aku mengekor di belakang Ayah yang berjalan menuju ruang keluarga. Ada Ibu juga di sana sedang menonton siaran televisi komedi. Aku duduk di sebelah Ibu sementara Ayah mengecilkan volume televisi itu sampai nyaris tidak terdengar. Dulu, kalau ingin mengatur volume atau mau berpindah siaran, harus manual menekan tombol-tombol yang ada di televisi tanpa remot seperti sekarang ini. Aura di ruang keluarga itu sudah beda, terkesan lebih menyeramkan dari pada di wahana rumah hantu. Maksudku, Ayah memanggilku pasti ada maksud dan tujuan yang sangat serius. Pastinya. Karena jarang sekali Ayah ingin mengobrol denganku seperti ini.
Aku melirik Ibu yang juga sedang menatapku, sebelum Ayah duduk di kursi lain sebelahku. Tatapannya tajam mengarah padaku, jantungku mulai berdetak tidak karuan ditatap Ayah seperti itu. Refleks Aku menundukkan kepala dengan jari-jari saling bertautan. Aku menduga-duga, apakah Aku ketahuan bolos seharian ini gara-gara memilih diam di kosan Arif?
Tapi jika begitu, Aku akan terima konsekuensinya karena ini memang murni kesalahanku sepenuhnya.
“Ayah sama Ibu ingin bicara serius sama kamu, Bang.” Suara Ayah kali ini benar-benar terdengar sangat mengintimidasiku. Dan Aku paham, arah tujuan obrolan ini akan ke mana ujungnya dan Aku harus bersiap-siap mencari alasan untuk itu semua.
“Iya, Yah.”
“Ibu sudah bilang, kan, kalau Abang bakalan lanjut masuk pendidikan khusus Advokat?”
“Iya, Ayah.”
“Lihat Ayah kalau Ayah lagi ngomong sama kamu.”
Refleks Aku mengangkat wajah, menatap Ayah yang mukanya serius, matanya menatapku dengan tatapan yang tajam. Awalnya Aku tidak sanggup untuk menatap Ayah, apalagi melihat matanya. Maaf... bukannya Aku bersikap tidak sopan, demi meminimalisir ketakutanku, Aku memutuskan menatap jidat Ayah yang lebar bagaikan lapangan golf dan terlihat mengilap kena cahaya lampu.
Aku tahu dalam hatiku, bahwa Aku tinggal di lingkungan keluarga di mana kedua orang tuaku selalu mendikteku dengan segala tuntutan dan aku harus menahan agar Aku tidak memberontak.
“Ayah percaya sama kamu, Bang.”
Aku mengangguk. “Iya, Ayah.”
“Ayah nggak ngelarang kamu main sama siapa pun. Silakan. Asal kamu harus tahu batasan,” kata Ayah sambil terus menatapku. “Ayah nggak bakalan ngekang kamu dalam urusan pertemanan. Ayah percaya kamu tidak akan terbawa-bawa.”
“Terbawa apa, Ayah?”
“Terbawa ke hal negatif. Ayah tahu lingkungan pertemanan kamu itu sehat.”
“Iya, Ayah.” Aku mengangguk.
“Yang bisa Ayah atur hanya soal pendidikan kamu, jalan kamu menuju masa depan. Karena kamu dan cuma kamu satu-satunya harapan Ayah sama Ibu.”
Aku mengangguk.
“Jadi, setelah lulus nanti, Ayah mau kamu lanjut pendidikan khusus Advokat. Bisa?”
Aku diam.
Ayah menatapku semakin dalam, bahkan sekarang mendekatkan wajahnya sampai Aku refleks menarik wajahku ke belakang.
“I—iya, Ayah. T—tapi untuk sekarang, yang aku fokuskan kuliahku sampai benar-benar lulus di waktu yang tepat, tanpa harus ngejar ketertinggalan—”
Dahi Ayah mengerut heran. “Ngejar ketertinggalan? Maksud kamu?”
Ah, sial! Aku keceplosan!
“Jadi kamu jarang masuk kelas?” Suara Ayah tiba-tiba meninggi, membuatku meneguk ludah beberapa kali, perlahan menarik tubuhku ke belakang menjaga jarak dari Ayah. “Atau bagaimana?!”
Tangan kananku refleks menggaruk rambut. Sebenarnya Aku tidak punya rencana untuk melakukan itu, tetapi alam bawah sadarku merangsang otot tangan dan pergerakan itu.
Dan kau tahu? Ini kebiasaanku kalau Aku sedang berbohong. Sedangkan Ayah dan Ibu sudah paham betul dengan gerak-gerikku yang satu ini.
Ah sial! Sudahlah, Aku habis dicincang Ayah.
“Oh....” Ayah menganggukkan kepala—entah apa maksudnya itu. Dan kau tahu? Ayah sudah membuka sabuknya dan berdiri tepat di depanku, bersiap-siap melayangkan sabuk itu padaku. Seperti didikannya sadari dulu, kalau Aku tidak menurut atau membantah sedikit pun. Sudah dipastikan, sabuk Ayah akan melayang menimpuk badanku sampai memar biru-biru.
Karena pernah dulu, sewaktu Aku kelas lima SD, Ayah menyuruhku untuk salat Ashar sedangkan Aku yang baru pulang main bola malah berleha-leha di depan kipas angin. Tidak mendengarkan apa kata Ayah, sampai berhasil memancing emosi Ayah dan akhirnya sebuah pukulan dari sabuk Ayah menghantam tubuhku bertubi-tubi tanpa berhenti. Sampai Aku menjerit-jerit kesakitan dan memohon ampun.
Dan itu rasanya... Sungguh sangat-sangat sakit! SEKALI! Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyembuhkan rasa sakit itu. Yang Aku harapkan pada saat itu hanyalah pertolongan Ibu dan Tuhan.
Aku sudah membentengi tubuh serta wajahku dengan kedua tangan, dan kakiku yang dengan refleks Aku naikkan ke atas kursi. Bahkan untuk pertama kalinya Aku dengan tidak sengaja melakukan itu. Hanya untuk pertahanan diri sebisa mungkin menutupi aset intimku. Maksudku, wajah.
“Ayah, sudah, Yah.” Refleks Ibu juga menjadi tameng untukku, menghalangi tubuhku dengan tangannya. Karena Ibu tahu, amarah Ayah sudah memuncak. Napas Ayah terdengar menderu keras, bahkan dadanya naik turun. Dan raut wajahnya... benar-benar sangat menyeramkan. Kalau digambarkan sebagai tokoh dalam film Avengers zaman sekarang mungkin Ayah ini adalah Thanos yang sedang melakukan aksi untuk memusnahkan populasi manusia yang tidak berguna. Sepertiku, misalnya.
“Ampun, Yah, ampun!” Aku berteriak kencang meminta ampun pada Ayah yang masih terlihat emosi bahkan sabuknya sekarang sudah terlepas sempurna dari pinggangnya.
Satu pukulan terdengar. Namun itu bukan menimpuk tubuhku, melainkan memukul kursi kayu yang sedari awal Ayah duduki. Tiba-tiba, air mataku keluar dari kelopak mata. Sumpah, saking kaget dan traumanya Aku dipukuli Ayah sampai tidak sadar Aku menangis di hadapan mereka. Rasanya memang sangat malu, tetapi itu otomatis keluar dengan sendirinya.
“BERANI KAMU BOLOS KELAS, HAH! AYAH SUDAH CAPEK-CAPEK BIAYAIN KAMU SAMPAI NGGAK KENAL WAKTU. TAPI KAMU MALAH SEENAKNYA SEPERTI INI. MAU JADI APA KAMU, HAH?!” bentakan Ayah benar-benar menggema di seisi rumah pada saat itu. Dan Aku masih sangat ingat betul, beberapa kali Ayah memukulkan sabuknya pada kursi kayu namun tidak kunjung memukulku.
Bukannya Aku menunggu giliran untuk dipukul. Bukan! Tapi aneh rasanya. Apa karena terhalang oleh Ibu?
“Zainuddin janji, Yah, nggak bakalan lakuin hal bodoh itu lagi,” Aku masih tetap dalam posisiku. Menunduk, dengan kedua tangan sebagai tameng. Akhirnya Aku mengaku, karena sudah kepalang ketahuan gara-gara gerak-gerikku. “Zainuddin minta maaf, Yah, Bu. Maaf.”
“Ayah sudah, Yah, malu sama tetangga,” Ibu yang notabene lemah lembut, berusaha menenangkan Ayah yang terkenal dengan watak keras. Ibu menarik tangan Ayah untuk kembali duduk. Dan anehnya, Ayah selalu luluh dengan perlakuan Ibu. Ibu melirikku, memberi isyarat padaku dengan pergerakan mata, menyuruhku untuk buru-buru pergi meninggalkan Ayah.
Aku mengerti. Aku buru-buru bangkit dari tempat asalku, bergegas pergi meninggalkan Ayah sesuai instruksi dari Ibu. Sebelum amarah Ayah benar-benar memuncak dan bisa-bisa Aku dipukuli habis-habisan. Dan sebelum masuk kamar, Aku berteriak. “AYAH, MAAFKAN AKU!” Lalu buru-buru Aku menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya dari dalam.
Asli. Entah bagaimana jika tidak ada Ibu di rumah, mungkin Aku sudah menjadi sasaran empuk Ayah. Karena pada dasarnya, hanya Ibu-lah satu-satunya tameng terbaikku, dan satu-satunya orang yang bisa meredam amarah Ayah hanya dengan sentuhan.
***
Dari kejadian semalam dengan sendirinya sudah meningkatkan ketegangan antara Aku dan Ayah. Karena saat itu Aku menyangka bahwa Ayah sudah mengetahui kalau Aku memang tidak masuk kuliah seharian penuh. Saat itu Aku bertanya-tanya; Apakah Ayah mengajakku untuk mengobrol serius dan membahas persoalan tentang kelanjutan pendidikanku khusus Advokat itu hanya semata ingin memancingku saja? Karena Ayah sudah tahu kalau jadwal kuliahku berantakan, yang disebabkan memang sepenuhnya dari diriku sendiri.
Terus, kalau begitu, dari mana Ayah tahu kalau Aku sering bolos? Pasti ada orang yang melapor pada Ayah soal kelakuanku di kampus. Tetapi jika benar, hanya Tuhan yang tahu dan Aku hanya menerima jika memang jalannya harus begitu.
Sehingga, oleh karena itu, paginya di hari Rabu Aku memutuskan untuk masuk kuliah, berusaha tidak bolos kelas. Pada saat itu, Aku berpikir, untuk tidak mencari gara-gara pada Ayah.