Mungkin, bukan hal yang mudah untuk mendapatkan seorang Anita Janari Kesuma. Dari kesan pertama kenalanku dengannya di halte itu, sudah terlihat jelas bahwa Anita termasuk perempuan yang sulit untuk didapatkan. Tidak seperti perempuan lainnya, apalagi saat itu anak-anak fakultas Hukum termasuk anak-anak yang tersohor dan menjadi pusat perhatian anak-anak fakultas lain. Terutama fakultas Ekonomi, seingatku.
Kebanyakan dari fakultas lain ingin berpacaran atau sekadar dekat dengan anak fakultas Hukum. Aku tidak tahu betul kenapa mereka ingin begitu. Katanya, dulu, seingatku, biar keren saja punya pacar yang paham akan pasal dan undang-undang. Padahal, dasarnya, tidak semua anak fakultas Hukum hafal sama pasal-pasal Republik Indonesia.
Aku sadar kalau Aku punya tampang yang pas-pasan, jauh dari kata sempurna. Maka, jelas bagiku, untuk tidak mendekati banyak perempuan. Dengan begitu, tidak ada perempuan yang merasa diberi harapan palsu olehku. Kecuali Heni, sih, yang paling terobsesi padaku, sampai Aku saja bingung... apa istimewanya Aku sih di mata dia?
Persis apa yang dikatakan Budi, kalau Aku memang tidak pernah dekat dengan perempuan atau Aku sekadar mendekatinya hanya untuk main-main. Bukannya Aku tidak normal, tetapi kala itu dalam pikiranku, Aku tidak mau buang-buang waktu untuk memikirkan perempuan atau mendekati satu demi satu perempuan hanya untuk kesenangan belaka, yang ujung-ujungnya pasti bikin pusing kepala. Yang ada di pikiranku saat itu, kalau sudah waktunya tiba mungkin perasaan dan hasratku untuk mendekati perempuan akan datang dengan sendirinya.
Mudah-mudahan kau mengerti apa maksudku dan apa yang sedang Aku bicarakan. Intinya; jangan datang ke perempuan kalau niatmu hanya ingin main-main, tetapi datanglah ke perempuan yang bisa membuatmu dan dia saling nyaman, merasa selalu senang dan membutuhkan, sampai kamu berpikir dia pantas untuk kamu perjuangkan. Kalau kau tidak setuju dengan pendapatku, tidak apa, karena setiap orang punya pendapat masing-masing.
Tetapi inilah prinsipku.
***
Aku akui, dari segala sisi, mau itu dari prestasi atau dari absensi, Aku dan Anita sangat jauh berbeda. Bahkan kami sepertinya saling bertolak belakang. Dan niatku sekarang, sebisa mungkin untuk mengimbangi Anita, meski tidak sepenuhnya Aku bisa, tetapi minimal dari kehadiran absensiku yang seperti dia. Apa yang Aku lakukan adalah semata-mata ingin dekat dengan Anita saat itu. Bahkan menurutku, belum juga apa-apa, Anita sudah memberi pengaruh baik untukku, yaitu; Aku berusaha selalu masuk kelas dan tidak bolos. Walau harus menghadapi dosen yang membosankan atau menyeramkan sekali pun, melawan keras rasa kantuk dan pusing yang melanda di setiap jam pelajaran berlangsung.
Meski hal itu juga sedikit agak sulit, tetapi untuk itu juga Aku merasa banyak sekali caranya karena kita pasti punya kapasitas untuk mengendalikan itu semua, yang awalnya terpaksa lama-lama pasti akan terbiasa.
Siang itu, tepat pukul satu, di hari Sabtu, Aku harus terpaksa pergi ke toilet setelah Aku diteriaki Prof. Marito karena ketahuan tidur di saat jam pelajarannya berlangsung dan menyuruhku untuk membasuh wajah. Padahal, menurutku, itu adalah hal manusiawi yang pasti pernah dilakukan anak-anak sekolah ataupun mahasiswa di saat jam pelajaran berlangsung, apalagi dosen atau gurunya yang terkenal membosankan dalam menjelaskan beberapa pelajaran. Pendapatku sih begitu, soalnya Aku juga gitu, enggak tahu kalian. Mungkin saja beda.
Saat Aku keluar kelas, entah kenapa tiba-tiba Aku memilih ke toilet lantai satu, padahal di lantai tiga—lantai kelasku—itu juga ada toilet. Tapi alam bawah sadarku menyuruhku untuk ke sana, ya sudah Aku tidak menolak. Tepat saat Aku turun dari tangga lantai dua menuju lantai satu, pandanganku benar-benar tertuju pada seseorang yang terlihat sedang sangat kebingungan sembari memeluk beberapa Map dengan kertas-kertas tebal di dalamnya.
Tiba-tiba saja, seulas senyuman tertarik di bibirku, kau tahu apa yang Aku lihat?
Bidadari Dunia sesungguhnya.
Iya, itu Anita.
Bahkan Aku tidak percaya dengan pandangan yang sudah Aku tangkap. Barangkali Aku hanya halusinasi karena separuh nyawaku belum terkumpul saat tertidur tadi di kelas. Tetapi, setelah Aku mengucek beberapa kali mataku, semakin jelas kalau itu memang benar Anita yang terlihat kebingungan dengan pandangan menengadah sekitar, bahkan dia tidak menyadari kemunculanku.
Aku yang penasaran, Akhirnya memilih mendekatinya perlahan. Barangkali dia butuh bantuan. Yang sebenarnya Aku merasa deg-degan, kikuk dan mati gaya. Bukan karena apa, tetapi semenjak perkenalanku dengannya di halte itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Dan untuk sekarang, Tuhan memberikan kesempatan dan mempertemukan Aku dengan Anita, lagi. Aku harus berterima kasih juga pada Prof. Marito, kalau saja beliau tidak menyuruhku untuk basuh wajah, mungkin Aku tidak akan bertemu dengan Anita.
“Hai, Anita. Ada perlu apa kamu ke sini?”
Serius. Aku benar-benar grogi bukan main, mungkin saja Anita mendengar jelas kalau suaraku bergetar.
Anita terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba di belakangnya, dia langsung berbalik badan dan bertatapan langsung denganku.
“Eh,” Anita terdiam sejenak menatap wajahku. Sepertinya dia mengingat-ingat Aku yang sebelumnya meminta berkenalan di halte itu, lalu kemudian dia mengangguk dengan senyuman sangat tipis tapi terlihat. “Iya, saya mencari Prof. Marito, saya diperintahkan Prof. Mahyudi untuk memberi berkas-berkas ini untuk Prof. Marito.” (Prof. Mahyudi adalah Dekan Fakultas Ekonomi)
Saat itu, untuk pertama kalinya, Aku bisa mendengar dengan jelas suara Anita. Suara yang menurutku sangat feminim dan indah untuk didengar, bahkan saat itu pula Aku bisa memandang wajahnya dengan sangat jelas dan dekat dengan waktu yang cukup lama. Meski bahasanya terdengar sangat baku dan kaku. Tetapi, itu terdengar sangat indah ditelingaku.
“Oh, Prof. Marito, ya?” Refleks jari telunjuk kananku mengarah ke tangga menuju lantai atas. “Kebetulan beliau sedang mengajar dikelasku, lantai tiga. Mau Aku antar?”
Aku benar-benar deg-degan, jantungku berdegup kencang. Padahal Aku hanya menawarkan, tetapi malah justru Aku yang salah tingkah seperti ini. Saat itu, Aku takut Anita menolak atau malah tidak suka dengan caraku mendekatinya.
Anita terdiam. Bahkan pikiranku sudah jauh saja, saat itu Aku yakin Anita pasti menolak dengan alasan ingin mencari sendiri saja.
Nyatanya tidak!
“Boleh,” dia mengangguk, “kalau itu tidak merepotkan.”
Refleks dengan otomatis, dalam kendali alam bawah sadarku, tiba-tiba Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum lebar ketika Anita menyetujui ajakanku. Mungkin Anita merasa aneh melihat tingkahku, soalnya terlihat dari dia mengernyitkan dahi.
“Oke, mari Aku antar.”
Anita mengangguk. Dia melangkah di sampingku, dengan memeluk berkas-berkas yang terlihat lumayan tebal.
Kami menaiki anak tangga satu per satu.
“Mau Aku bawakan berkasnya?” tanyaku. Karena tidak tega melihat Anita seperti keberatan membawa berkas-berkas itu sendirian.
Anita menjawab dengan gelengan kepala, terlihat sangat dingin. Dan itu sangat terlihat cukup jelas untukku kalau Anita tidak ingin berinteraksi lebih jauh denganku.
Tetapi, Aku yang pantang menyerah, berusaha membuat Anita merasa nyaman dekatku, maksudnya, tidak secanggung ini. Karena tujuanku, kan, ingin mendekatinya. Jadi Aku harus bisa mengendalikan suasana, meski sedikit dengan bisa membuka percakapan dengannya.
“Anita, apa kamu takut dekat denganku?”
“Hm?” Anita menoleh, menatapku sebentar, lalu dia kembali memalingkan wajahnya “Tidak. Untuk apa takut?”
Aku mengangguk, sambil tersenyum. “Maaf, jika niatku untuk berkenalan tempo lalu di halte itu, membuatmu jadi takut. Aku tidak bermaksud, Aku hanya ingin kenal denganmu.”
Anita mengangguk. “Tidak apa.”
Aku tersenyum, menatapnya. Meski dari samping, tetapi terlihat jelas parasnya yang begitu indah.
Oh, Tuhan, terima kasih sudah menciptakan seseorang seindah Anita ini, Terima kasih sudah mempertemukan Aku dengannya, dan Aku berharap Kau mempersatukan kami berdua meski dengan jalan yang rumit. Tetapi Aku sanggup untuk melewati rintangan itu, Tuhan.
Itu doaku tiap kali Aku melihat atau mengingat Anita dalam diam.
“Anita. Kamu tahu tujuanku tadi ke lantai satu untuk apa?”
“Hm?” Anita kembali menatapku, lalu dia menggelengkan kepala. Untuk kali itu, Anita menatapku cukup lama, dia seperti menunggu jawaban dari perkataanku yang membuatnya penasaran.
“Aku ketiduran di dalam kelas, dan Prof. Marito menyuruhku untuk membasuh wajah supaya tidak mengantuk. Padahal, ada toilet di lantai tiga, lantai kelasku, tetapi Aku memilih untuk ke lantai satu.”
“Kenapa?” tanya Anita—terdengar sangat gemas ditelingaku saat dia bertanya.
Sungguh. Coba kau bayangkan jika kau sedang berjuang mendekati seseorang yang kau mau, dan dia bisa merespons dengan baik topik pembicaraan yang sudah kau rangkai sedemikian rupa.
Dan itu rasanya benar-benar membuatku melayang tinggi.
“Karena Tuhan menakdirkan Aku untuk bertemu denganmu lagi. Bukan hanya Aku, tetapi juga kamu yang sedang kebingungan mencari Prof. Marito. Benar, bukan?”
Aku mendengar jelas helaan napas Anita. Lalu dia kembali memalingkan wajahnya, menatap jalan yang kami jejakkan waktu itu. Mungkin saat itu, Anita merasa jijik mendengar perkataanku. Aku bahkan sampai sekarang saja bingung, mengapa bisa-bisanya Aku berkata seperti itu pada Anita, ya?
“Dan ini hari pertamaku, jalan berdua denganmu,” Aku melirik Anita yang masih saja diam dan tidak merespons sama sekali. “Percayalah, setelah hari ini, kita akan sering jalan berdua seperti ini. Tapi bukan di sini. Di tempat lain, kalau kamu mau.”
Anita kaget. Terlihat dari cara dia yang tiba-tiba menoleh ke arahku, memandangku dengan kelopak mata yang melebar, sesaat setelah itu mengernyitkan dahi. Anita tidak merespons, lagi, justru dia malah menengadah sekitar padahal saat itu jalan yang kami lewati sangat sepi. Mungkin dia takut jikalau ada yang mendengar.
“Aku sudah bilang, kamu tidak usah takut,” Aku sedikit tersenyum, “aku bukan orang jahat. Percayalah.”