KISAH TAK TERLUPA

Linda Fadilah
Chapter #5

INVESTIGASIKU

Perdebatan kami saat itu menghabiskan waktu satu jam, seingatku, di perpustakaan soal buku itu tidak membuahkan hasil apa pun. Maksudku, Aku lebih memilih menjalani apa yang Aku tekadkan dan rencanakan sendiri, semampuku dengan segala perjuanganku. Aku memang meminta bantuan pada mereka, Budi, Arif dan Burhan untuk melancarkan serta mendukungku dalam upaya pendekatan ini.

Dan mereka setuju.

Tetapi Budi tetap saja meminjam buku itu. Meski diejek sama penjaga perpustakaan, tetapi dia tidak peduli. Toh, tujuan dia bukan buat dia, tetapi buat Aku.

Setelah itu, tepat di malam Selasa, Aku mulai bikin rencana untuk membangun hubungan yang lebih dekat lagi dengan Anita. Meski perlakuan Anita selalu saja menghindariku, tetapi Aku tidak peduli itu. Aku datang ke restoran tempat dia bekerja, karena Aku sudah dapat info dari Budi kalau Anita kerja di salah satu restoran ternama di Glodok pada masa itu, namanya Aku samarkan soalnya demi menjaga privasi restoran, namanya; whistle for foodies. Yang menyajikan makanan dari beberapa Negara.

Aslinya. Aku enggak tahu makanan yang disajikan di situ halal atau tidak. Karena pada dasarnya, dulu di restoran-restoran belum ada label halal atau nonhalal yang tertera di sana tidak seperti zaman sekarang ini yang memakai logo nonhalal kalau restoran itu memang menjual makanan nonhalal. Dan pada saat itu, Aku belum pernah sesekali menginjakkan kaki di restoran besar seperti itu, biasanya Aku cuma ke warung kopi atau paling banter ke rumah makan Ayahku yang sama-sama buka di Glodok.

Oh iya, sebelum kau kebingungan dan bertanya-tanya; Restorannya dekat tidak dengan usaha rumah makan Padang Ayahmu?

Aku jawab sekarang dengan tegas. TIDAK!

Jaraknya lumayan jauh dengan tempat Ayahku. Dan Aku bisa pastikan kalau Aku bakalan aman tanpa ketahuan Ayah.

Aku duduk-duduk di salah satu meja di sana, sendirian, kedua mataku menelanjangi sekitar—berharap Aku melihat Anita—tetapi saking banyaknya pegawai dan juga pengunjung, Aku sampai kebingungan dan tidak menemukan Anita dari salah satu orang yang Aku lihat. Bahkan Aku menyangka, kalau Budi sudah memberi informasi palsu tentang Anita yang bekerja di restoran itu.

Ah, sial!

Aku yang bingung harus pesan apa dan jujur Aku sendiri saja tidak bisa untuk memesan. Akhirnya Aku berniat mau pulang saja, membatalkan rencanaku yang pengen lihat Anita langsung. Tapi, saat Aku baru saja berdiri, ada seseorang menyapaku, memberiku buku menu.

Saat itu, bukan buku menu yang Aku lihat, tetapi seseorang yang sudah memberi buku itu. Dia, Anita. Yang sedari tadi Aku cari dan menjadi tujuan utamaku untuk datang ke sini.

“Silakan, mau pesan apa?” Dia tersenyum kepadaku, sambil memegang buku kecil dan pena di tangannya.

Sumpah. Itu senyuman pertama yang Aku dapat dari Anita. Bahkan, melihat lengkung bibirnya yang terukir indah, hatiku benar-benar berdetak tidak karuan. Asli. Dan itu kali pertama Aku melihat senyuman terindahnya, bahkan lebih indah dari apa pun!

Anita terlihat sangat-sangat berbeda di sana.

Bukan! Bukan karena penampilannya yang pakai baju seragam restoran, dengan kain yang dikaitkan di kepalanya, tetapi dari cara dia bersikap, menyapa. Aku bahkan tidak menyangka, kalau ini benar-benar Anita, atau bukan? Dia terlihat sangat, ramah!

“Ah—iya, sebentar,” Aku yang grogi mengambil buku menu itu. Bahkan, saat itu Aku benar-benar malu dan terlihat salah tingkah, karena buku menu yang Aku lihat itu terbalik sampai Anita menegurku dengan lembut.

“Maaf, Mas, terbalik.” Anita membalikkan buku menu itu, membuatku semakin malu. Kelihatan sekali kalau Aku ini gugup dibuatnya.

 Harusnya malam itu Aku bersikap keren di hadapannya. Tapi justru malah memalukan!

“Oh, iya,” Aku tersenyum kikuk—Aku melihat-lihat menu yang ada di sana, bahkan Aku tidak tahu makanan apa yang tertera dalam menu. Namanya aneh, tidak Aku kenal dan tidak familier. Lumayan lama Aku mencari menu yang pas, sambil curi-curi pandang menatap Anita yang juga menatapku. Kalau tidak salah, sekitar lima menit Aku mencari, akhirnya yang Aku pesan hanya es lemon tea saja. Karena sumpah, Aku mau pesan makanan saja harus kebingungan dengan menyebut namanya, kalau semisal Aku tunjuk pakai tangan tanpa Aku sebut, malu juga Aku sama Anita.

Jadi, lebih baik enggak dulu, deh!

“Ada tambahan?” tanya Anita saat menulis pesananku.

“Aku akan memesan yang lain, jika kamu mau menemaniku makan di sini.” Aku tersenyum, menatapnya penuh dengan kekaguman kala itu, dengan kedua tangan Aku lipat di atas meja.

Anita hanya tersenyum ramah. Lalu dia menganggukkan kepala. “Baik, silakan ditunggu pesanannya.” Dia berlalu pergi meninggalkanku. Tanpa merespons perkataanku.

Ah, ternyata tidak segampang itu Aku membujuk Anita. Dia tetap pada sikap aslinya, cuek, dingin. Mungkin dia ramah malam itu karena prosedur perusahaan kali, ya!

Tapi enggak apa-apa, yang penting malam itu Aku bisa melihat senyumnya. Senyuman yang sangat-sangat langka untuk Aku dapatkan di lingkungan kampus, bahkan di luar kampus sekali pun. Hanya bisa Aku dapatkan di restoran itu.

Sepertinya, Aku bakalan sering-sering ke restoran itu. Meski hanya pesan teh manis, asal bisa melihat Anita lebih lama lagi. Itu sudah lebih dari cukup, bagiku.

***

Di kantin. Waktu itu jam kosong karena pembelajaran kedua dilakukan siang hari, pukul satu. Sedangkan pembelajaran kesatu tadi pagi, pukul delapan sampai sebelas. Dan sisanya kami bisa menghabiskan waktu kosong itu dengan cuma-cuma dan bebas.

Kala itu, Aku bersama ke empat kawanku, kami duduk di salah satu meja paling pojok dekat jendela. Kami masing-masing makan bakso dan minum es jeruk, sambil mengobrol ini-itu yang enggak penting juga menurutku.

“Gimana? Udah ketemu?” tanya Budi tiba-tiba yang mungkin dia penasaran juga, karena Aku belum cerita apa-apa sama mereka.

“Ketemu dong,” kataku.

“Ketemu apa?” tanya Tono yang memang dia tidak mengerti, karena tiap kali kami, khususnya Aku membicarakan Anita, Tono selalu menghindar. Katanya, itu sebuah rahasia besar yang tidak boleh dia tahu, karena dia adalah salah satu pemberantas sekaligus penggagal rencanaku.

“Ketemu jodohnya si Zai,” jawab Burhan.

Bah! Menyesal Aku ada di sini. Ya sudah, aku pura-pura tidak dengar saja kelen bicara apa. Lanjutkan, lanjutkan!” Lucu juga saat Tono bersikap seperti itu. Dia memilih bergeser, menjauh dari kami. Padahal, Aku sih tidak masalah, silakan saja, toh ini bukan rahasia besar menurutku. Tetapi Tono tetap pada pendirian.

Aku ketawa.

“Terus, gimana?” tanya Arif antusias, dengan senyuman lebar dan kedua alisnya bergerak naik-turun.

“Ya begitu,” kataku, sebelum masukin bulatan bakso ke dalam mulut.

“Ih gitu kumaha?” tanya Burhan. Sepertinya dia gemas dengan jawabanku, terlihat dari wajahnya yang mengerutkan alis. (kumaha = Bagaimana)

“Lu ke sana, dia lagi ngapain?” tanya Budi yang menurutku tidak masuk akal dan tidak perlu dijawab. Tetapi, Aku menghargai karena dia yang memberi info padaku soal restoran itu.

“Ya kerja, lu pikir nongkrong?” jawabku sambil kunyah bakso.

Lihat selengkapnya