Sebuah lilin menyala di tengah-tengah gelap gulita. Sepasang bola mata hitam milik seorang perempuan berbinar-binar terpantul cahaya lilin yang merah. Perempuan itu berambut pendek sependek dagunya.
“Apa yang kau lihat? Makanlah!” kata seorang pria bermuka bopeng sambil memegang sebuah pisau.
Jempolnya yang kasar seperti tapal kuda mengelus-elus pisau itu. Warna pisaunya memerah terpantul cahaya lilin.
“Dia tidak suka daging ini,” kata seorang nenek bermulut peyot.
Rambutnya putih kemerahan terpantul cahaya lilin.
“Dia harus makan,” sela seorang kakek bertelinga satu.
Kepalanya yang mulai gundul berkilau merah terpantul cahaya lilin.
Seorang wanita bermata besar hanya terdiam menggendong seorang anak bayi. Sepasang bola mata coklat miliknya berkilau merah terpantul cahaya lilin, seperti halnya mata perempuan tadi. Kulit si bayi yang merah merona semakin berkilau merah terpantul cahaya lilin yang merah.
Perempuan itu hanya terdiam seperti batu memandangi ekor api yang meliuk-liuk di atas lilin yang putih. Dia membayangkan sebuah hari yang penuh warna merah – itulah masa depannya.
Empat pasang bola mata milik mereka berempat masih terus menatapnya dari tadi, kecuali mata si bayi.
Dia menatap bayi itu dengan sepasang bola matanya yang mulai kosong, melamunkan sebuah hari yang penuh warna merah. Dia ingin sekali kembali seperti bayi itu. Merah, kecil, merona. Putih, polos, tak bernoda.
Bayi itu hanya bisa menangis sesukanya. Kalau dia lapar, tinggal menangis. Si ibu pasti langsung meneteknya seperti seekor sapi. Kalau bayi itu mau berak, tinggal buang saja. Ibunya pasti langsung membersihkannya. Dia bisa tidur di mana pun yang dia suka. Kalau sampai ada yang membangunkannya tanpa seizinnya, dia pasti langsung menangis. Dia sangat marah seolah-olah dia paling berkuasa di rumah ini.
Mereka semua yang tinggal di dalam rumah ini pasti langsung menghibur bayi itu; berusaha memadamkan semua amarahnya, kecuali satu orang, yaitu si perempuan berambut pendek yang sependek dagunya.
Perempuan itu masih terdiam seperti batu di hadapan api lilin; memandangi wajah si bayi yang merah merona.
Seekor ayam hutan tanpa kepala yang telanjang bulat tanpa bulu menungging manja di hadapannya. Empat pasang bola mata milik mereka berempat masih terus menatapnya dari tadi.
“Berhenti melihat adikmu,” kata si pria bermuka bopeng memegang paha ayam hutan itu.
Jempolnya yang kasar seperti tapal kuda tergores pisaunya yang tajam. Darah mengalir – dia langsung mengisapnya satu kali.
“Dia bukan adikku,” kata si perempuan berambut pendek tiba-tiba.
Empat pasang bola mata milik mereka berempat kembali menatapnya.
“Dia adikmu,” kata si pria bermuka bopeng menatap mata si perempuan berambut pendek.
Dia terbayang dengan sepasang bola mata hitam yang mirip dengan bola mata perempuan itu. Hatinya terpantik seperti api. Tangannya langsung menarik, menyayat paha ayam itu pelan-pelan, lalu mengirisnya dalam-dalam.
Perempuan itu hanya terdiam seperti batu, memandangi bayangan pisau yang bergerak maju-mundur di depan dinding kayu yang terletak di belakang kursi si pria bermuka bopeng. Dia terbayang dengan sebuah jendela segi empat. Warnanya merah, berisikan cahaya lilin.
Dari bawah jendela itu, melengkung keluar siluet bayangan hitam yang kemudian bergerak naik-turun seperti sedang berkuda. Rambut panjang bayangan hitam itu diurai ke belakang dengan sebuah gunung yang menimbul keluar dari siluetnya.
Bayangan hitam itu mendesah penuh gairah, “Matikan... Matikan lilinnya...”
Lilinnya dibalik – jendelanya menghitam.
Perempuan itu berusaha merangkak seperti kura-kura, mendekati jendela hitam itu. Dia mengangkat kepalanya, membuka matanya, berusaha mengintip ke dalam kamar. Berkat cahaya bulan yang putih, samar-samar dia bisa melihat bayangan hitam tadi yang masih terus bergerak naik-turun seperti sedang berkuda di atas sebuah pelana. Di bawah bayangan hitam tadi terdapat sebuah bayangan hitam lagi yang berbaring kaku seperti sebuah batang kayu.
“Enak... Siapa lebih enak?” desah bayangan hitam yang bergerak naik-turun seperti sedang berkuda.
Bayangan hitam yang berbaring kaku seperti sebuah batang kayu juga ikut mendesah seolah-olah sedang menahan sesuatu. Dia bilang, “Benar... Teruskan...”
Perempuan itu tahu itu suara siapa. Dan karena suara itulah, dia sengaja kemari untuk mengintip malam pertama mereka. Meskipun dia tahu, sebenarnya itu adalah malam kedua bagi si bayangan hitam yang berbaring kaku seperti sebuah batang kayu.
Setahun setelah malam itu, terlahirlah si bayi kecil yang putih, polos, tak bernoda.
“Dia bukan adikku,” kata si perempuan berambut pendek sambil menatap paha ayam hutan yang dipotong oleh si pria bermuka bopeng.