Delapan tahun kemudian... Si perempuan berambut pendek belum juga kembali sejak malam itu.
Kini si bayi emas telah tumbuh menjadi seorang bocah yang sangat mirip dengan ayahnya. Mereka berdua sedang duduk di bawah sebuah pohon; menjual sederet pisau perak yang disusun rapi dari panjang sampai pendek.
Rambut si pria bermuka bopeng mulai memutih, tapi di atas pangkuannya masih ada seorang putri kecil yang wajahnya mungil tidak seperti ayahnya. Gadis kecil itu adalah putri bungsu si pria bermuka bopeng.
Seorang warga menghampiri mereka untuk melihat-lihat sederet pisau perak yang disusun rapi dari panjang sampai pendek. Si bocah emas langsung menggendong adik kecilnya; menggantikan si ayah yang mulai sibuk melayani warga itu.
Empat tahun yang lalu, ibu si bocah emas mati mendadak setelah mengetahui kabar kalau si pria bermuka bopeng menikah diam-diam dengan seorang wanita berwajah mungil. Bocah itu tidak tahu sama sekali penyebabnya, tapi dia bisa menduganya. Dia hanya tidak paham mengapa itu bisa sampai terjadi. Orang-orang memberitahunya kalau si ibu memang memiliki penyakit bawaan. Kepalanya bocah itu hanya mengangguk, tapi hatinya tidak percaya.
Dia tidak membenci ibu barunya. Malahan, dia sedikit menyukainya. Wajah si ibu baru mungil seperti buah pir. Setahun setelah malam pertama si ayah dan si ibu baru, terlahirlah si adik kecil yang wajahnya juga sama mungil seperti buah pir.
Dia mencubit-cubit pipi si adik; menggelitik-gelitik pinggangnya. Sementara si ayah masih sibuk melayani warga itu.
“Pisau-pisau ini terlihat tua,” keluh warga itu sambil mengelap tangannya.
“Kelihatannya begitu, tapi tidak.”
Sambil berkata, si pria bermuka bopeng langsung mengeluarkan segulung kain. Dia mengambil sebilah pisau, lalu mengiris kain itu untuk meyakinkan pelanggannya kalau pisau-pisaunya masih tajam.
Warga itu menggeleng-geleng dengan perlahan.
Si bocah emas langsung paham – ayahnya kembali kehilangan seorang pelanggan.
Warga itu pergi, sedangkan si ayah kembali memangku putri kecilnya. Mereka bertiga kembali terdiam; menyimak keramaian pasar ini.
Tiba-tiba, dari ujung jalan sana terdengar suara ringkikan kuda yang membelah pasar menjadi dua. Semua orang langsung terdiam, menoleh ke ujung jalan sana. Seorang prajurit kecil menunggangi seekor kuda cokelat. Bayangannya yang hitam mulai membesar. Derap kaki kuda semakin menggelegar di telinga si adik kecil. Cepat-cepat bocah itu langsung membantu adiknya menutup telinganya yang mungil.
Prajurit itu berhenti tepat di hadapan mereka. Kudanya meringkik. Dia berteriak, “Pembantaian kembali terjadi. Harap semua hati-hati!”
Teriakannya menggema ke semua telinga. Setiap mulut yang ada di pasar itu langsung berteriak menyahutnya;
“Lalu, apa yang kalian lakukan?!”
“Bercumbu dengan anjingmu?!”
“Cabut matanya kalau bisa!”
Darah prajurit itu langsung mendidih. Dia mengeluarkan sebuah busur, lalu memanah seorang warga yang berteriak tadi. Darah menciprat. Kepala warga itu berlubang tertancap anak panah. Semua orang langsung membisu.
Melihat darah yang berwarna merah, si adik kecil langsung menjerit. Cepat-cepat si ayah dan bocah itu langsung membekap mulutnya yang mungil.
Prajurit itu berteriak, “Dasar anak jalang semuanya, kami sudah bekerja seharian demi kalian. Jadilah warga yang keparat, dan hargai usaha kami!”
Dia memutar haluan kudanya, lalu berkata, “Kalau masih mau melihat pasar ini, camkan kata-kataku!”
Dia memecut pantat kudanya, lalu menjauh, membelah pasar itu menjadi dua.