Kisah Ulat Kupu-Kupu

🕯Koo Marko✨
Chapter #5

Keluarga Berkepala Mungil

Makan malam si pria bermuka bopeng dan kedua putra-putrinya telah siap di atas meja yang bulat. Si bocah emas duduk di samping ayahnya sambil memangku si adik kecil. Di hadapan mereka ada si ibu yang sedang duduk sambil memegang pisau perak buatan suaminya. Wajahnya mungil seperti buah pir. Di samping kiri si bocah emas dan adiknya, ada si kakek bertelinga satu yang sedang duduk melamunkan wajah si nenek bermulut peyot yang baru saja pergi beberapa bulan yang lalu. Di samping si kakek bertelinga satu, ada seorang kakek yang berkepala mungil dan seorang nenek bermata satu yang sedang duduk menatap makan malam mereka. Di samping kakek-nenek itu, ada seorang wanita berwajah mungil yang sedang duduk sambil mengamati wajah si pria bermuka bopeng. Wanita itu adalah adik sekaligus kembaran si ibu yang wajahnya juga mungil seperti buah pir.

Di samping kembaran si ibu adalah si ibu sendiri yang sedang memegang sebuah pisau perak. Di samping si ibu, ada seorang pria bermata lebam yang sedang duduk, menunduk ke bawah. Kalau bukan karena dipukul istrinya, dia tidak akan pernah semalu itu. Sekarang istrinya sedang duduk di samping kanan si ibu karena istrinya adalah kembaran si ibu yang juga berwajah mungil seperti buah pir. Di samping pria itu, ada tiga orang remaja putri yang wajahnya juga agak mungil-mungil. Si rambut panjang, si rambut pendek, dan si rambut ikal, mereka bertiga adalah sepupu dari si ibu yang berwajah mungil seperti buah pir. Ayah dan ibu dari si rambut panjang dan si rambut pendek tewas dibunuh saat beberapa prajurit menjarah rumah mereka. Sementara ayah dan ibu si rambut ikal, mereka hilang dalam perjalanan menuju rumah ini. Dan di samping mereka bertiga, ada si pria bermuka bopeng yang sedang duduk menatap makan malam mereka sambil membayangkan wajah si wanita penjagal daging yang beterbangan mengisi hatinya.

Mereka semua duduk bersempit-sempitan, mengelilingi meja bulat, hanya demi semangkuk tahu busuk yang menjadi makan malam mereka. Dari si kakek berkepala mungil sampai tiga orang remaja putri itu, mereka adalah keluarga si ibu yang pindah ke rumah ini tepat setahun setelah si adik kecil keluar dari perut si ibu.

Sekarang perut si adik kecil sudah keroncongan sampai ke belakang, tapi dia tidak melihat satu pun tangan dari keluarganya yang bergerak mengambil tahu busuk itu. Dia merangkul leher si kakak seperti seekor ular, lalu berbisik di samping telinga kakaknya, “Kakak... Lapar.”

Mendengar bisikan adiknya, perut si bocah emas juga keroncongan sampai ke belakang. Dia tidak berani memakan lebih dulu karena semua keluarganya hanya terdiam seperti batu nisan. Mau tidak mau, dia harus menahannya. Tapi adiknya yang kecil itu tidak sanggup lagi. Dia menoleh kiri-kanan, memandangi wajah semua keluarganya, sebelum akhirnya, mencubit sejumput tahu busuk.

Si rambut panjang yang sudah menunggu sejak tadi juga ikut-ikutan mengulurkan tangannya untuk mencubit sejumput tahu busuk. Tapi belum juga menyentuh mangkuk itu, si ibu yang berwajah mungil seperti buah pir langsung menatapnya dengan tajam seperti seekor ular. Tanpa sepatah kata pun, si rambut panjang langsung paham maksud kakak sepupunya – tidak ada yang boleh makan, kecuali si putri kecil.

Si bocah emas mencampur sejumput tahu busuk ke dalam semangkok nasi putih, lalu memaksanya masuk ke dalam mulut si adik kecil. Begitu bau tahu itu menusuk hidung si adik kecil, mulutnya hendak menutup serapat mungkin. Tapi si kakak lebih tahu, bahkan lebih cepat. Belum juga menutup, sejumput nasi putih bercampur tahu busuk sudah lebih dulu bersarang di dalam mulutnya. Memang masih ada beberapa butir nasi yang menyangkut di pipi, bahkan tumpah ke atas meja. Tapi, si bocah emas langsung membekap mulut si adik kecil sambil berbisik, “Makanlah... Jangan dibuang.”

Si adik kecil terpaksa mengunyah sejumput nasi yang bercampur tahu busuk, lalu menelannya utuh-utuh. Ujung rambut hingga kakinya langsung bergetar seketika; membiarkan sejumput nasi tahu yang lembek dan mencret seperti kotoran mengalir masuk ke dalam perutnya. Dengan raut wajah yang mengerut seperti keriput, dia kembali berbisik di samping telinga si kakak, “Kakak... masam!”

Si ibu yang melihat semua itu langsung menoleh ke arah si pria bermuka bopeng. Dia mengomel pada suaminya yang saat itu masih melamunkan wajah wanita lain, “Kau lihat sendiri. Apa kau tega membiarkan kami merasakannya?”

Si pria bermuka bopeng langsung terbangun. Bayangan wajah si wanita penjagal daging langsung menguap, menghilang seperti asap. Dia terdiam seperti batu; tidak tahu apa yang ditanya, tidak tahu harus menjawab apa.

Lihat selengkapnya