“Kamu tahu apa bukti cinta itu, Raisya? Kamu harus rela memberikan apa pun yang kamu punya. Meski kamu harus menyerahkan keperawananmu kepadaku,” bisiknya dengan sorot matanya yang tajam tapi melenakan. Aku selalu percaya kata-katanya yang manis dan meyakinkan. Karena dia tidak pernah mengingkari janjinya. Aku selalu percaya pada semua kalimat yang terlontar dari mulutnya karena hanya dia yang selama ini membuatku merasa menjadi wanita seutuhnya.
Mungkin kau akan menganggapku gadis paling bodoh. Tapi sebelum kau menganggapku sebagai gadis yang bodoh dan gampangan, izinkan aku untuk membela diri. Aku memang gampangan, tapi semua itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Lelaki itu selalu manis dan menepati janji. Dua tahun yang lalu dia berjanji untuk menghadiahiku jam tangan di hari ulang tahun. Dia menepati janjinya. Tepat di hari ulang tahunku yang ke-17, dia datang tidak hanya dengan membawa kotak jam tangan, tapi juga bunga, cokelat dan hadiah lainnya. Bukannya itu sangat manis? Bahkan jika kau menjadi aku, kau pasti akan terjatuh pada kesalahan yang sama.
Setahun yang lalu dia juga berjanji akan memberikanku ponsel baru yang lebih canggih dari yang aku miliki saat itu. Aku awalnya agak ragu. Aku pikir itu hanya bualan dia untuk bisa mendapatkan simpatiku. Tapi ternyata dia tidak bohong. Di hari yang tidak pernah aku lupakan –tepatnya sepulang sekolah--dia mengajakku untuk mampir ke pusat perbelanjaan terbesar, memintaku untuk memilih satu ponsel yang harganya tidak melebihi satu juta. ‘Karena aku hanya punya uang satu juta untuk kamu,’ ujarnya dengan senyum menawan.
Kemudian aku memilih satu ponsel yang harganya Sembilan ratus ribu Sembilan puluh Sembilan rupiah. Cukup bagus untuk ukuran gadis kere sepertiku. ‘Ponsel ini sebagai hadiah hari jadian kita yang kedua tahun,’ akunya.
Kau masih menganggapku cewek gampangan dan bodoh? Terserahlah.
Dan hari paling naas itu terjadi. Dia memaksaku untuk memenuhi keinginannya. Suatu hari yang paling kelam dia mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Aku tidak tahu bahwa di balik undangan itu ada akal bulus yang menjerumuskanku pada penyesalan yang tak berkesudahan. Di rumah besar nan megah itu tidak ada siapa pun selain aku, dia dan Mbok Parmi, sang asisten rumah tangga.
“Itu tidak boleh!” seruku sembari menatapnya waspada. Aku berusaha untuk menutup kembali paha mulusku dengan rok biru yang tersingkap karena kenakalan tangannya yang lihai bergerak.
“Kenapa? Kamu sudah tidak percaya lagi sama aku?” tanyanya dengan nada kecewa. Ada sorot sendu di matanya. Tangannya yang sedari awal menjelajah di sekujur tubuhku mendadak berhenti, tepat di bokongku. Rasanya aneh, asing, canggung dan memalukan.
“Bukan begitu. Aku…Aku hanya merasa ini salah. Belum saatnya untuk…”
“Kamu mengecewakan aku. Aku sudah memberikanmu jam tangan, ponsel terbaru, baju, cokelat, bunga, apakah itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa aku lelaki yang baik untuk kamu?”
Andai aku tahu kejadian selanjutnya, mungkin saat itu aku akan berteriak begini, ‘Lelaki yang baik tidak akan menodai orang yang dia cintai sebelum waktunya tiba!’ Tapi saat itu aku bodoh. Atau lebih tepatnya aku dibodohi oleh bujuk manis yang dia lontarkan dari dua bibirnya yang selalu membuatku tertawan.
“Ini sudah melewati batas, Za!” aku berusaha mempertahankan apa yang layak aku pertahankan. Kudorong dadanya yang bidang dengan hati enggan. Aku berusaha menjauh dari jangkauan tangannya.
“Kita kan sudah saling percaya satu sama lain, Raisya.”
“Aku takut, Za.”
“Takut kenapa?”
“Aku takut orang-orang tahu perbuatan kita.”