Seminggu lamanya aku masih dalam kondisi lemas dan tak bergairah. Rasa mual dan pening selalu datang. Rasa mual itu tak hanya ada di pagi hari, tapi kadang bertahan sampai siang hari. Maka tak heran jika selama seminggu ini aku selalu meminta Fina untuk menulis alasan sakit di buku absen.
Hingga di hari keenam Fina datang ke rumahku hanya untuk memastikan keadaanku yang sebenarnya. Dia datang sendiri. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengan teman-teman sekelas kecuali dengan Fina, teman sebangkuku. Masuk akal jika mereka merasa tidak ada kewajiban untuk menjengukku.
“Kamu sakit apa sih, Ra?” tanya Fina sembari menggenggam tanganku. Sejurus kemudian tangannya berpindah ke kening, memastikan apakah suhu tubuhku normal atau tidak. “Eh iya, kamu agak panas ya.”
“Biasa, Fin. Aku lagi nggak enak badan. Tapi udah agak mendingan setelah dikerok Bunda.”
Awalnya aku ingin curhat kepada sahabatku itu, tentang apa yang aku alami saat ini. Tapi aku belum siap untuk mengungkapkan aibku, bahkan kepada sahabat yang selama ini selalu aku percayai sebagai pemegang rahasia. Selama ini sudah terbangun kepercayaan diantara kami berdua dan kami tidak pernah ragu untuk hal itu. Aku selalu curhat kepada Fina tentang semua hal yang selama ini menjadi unek-unek. Aku pernah bercerita kepadanya tentang orangtuaku, bahkan aku sering bercerita tentang Reza kepadanya. Fina memang pendengar yang baik dan selalu mengerti semua keluhku. Dia tidak pernah mengguruiku atau menyalahkanku. Dia akan memberi saran dan menasihatiku dengan penuh cinta. Kata-katanya seperti air embun yang menyejukan. Dia tidak pernah gagal untuk membuatku merasa tenang dan merasa lebih baik ketika aku sedih. Tanpa pernah diminta pun dia dengan senang hati selalu membuat hatiku kembali hangat.
Tapi…akankah aku sanggup membuka aib ini kepadanya? Jangan-jangan setelah dia tahu apa yang terjadi, dia akan menatapku dengan tatapan jijik dan tak mau lagi berteman. Jangan-jangan dia akan memandangku sebagai gadis yang kotor dan layak untuk dicampakan. Barangkali dia merasa kecewa karena ternyata aku tidak sebaik yang dia pikirkan. Aku mencoba menerka bagaimana responku jika aku berada di posisi Fina dan Fina berada di posisiku saat ini. Akankah aku tetap berdiri di sampingnya? Hatiku yang terdalam mengatakan aku akan tetap membersamai sahabatku itu jika dia berada di posisiku. Tapi…ah! Memikirkannya saja membuatku semakin pening.
“Kok kamu bengong sih?” Fina membuyarkan lamunanku. Monolog yang berkecamuk di benakku perlahan mengabur. Aku memandang wajah Fina, kemudian menggeleng perlahan.
“Kamu ada masalah, ya?” Tatapan Fina menelusuri wajahku yang saat ini tengah menunduk. Dia memang selalu tahu tentang diriku. Bahkan dia bisa membaca roman muka lawan bicaranya. Dia tahu aku menyimpan masalah dari gerak-gerikku.
“Ah, nggak kok.”
“Jangan bohong, Ra. Aku tahu kamu sedang menyimpan masalah. Kamu kan tahu siapa aku. Jadi nggak usah sungkan buat cerita.”
Nggak, Fin. Aku nggak punya masalah.”
“Tapi dari sorot matamu aku tahu kamu menyimpan masalah. Tapi ya sudah, kalau kamu nggak mau cerita aku juga nggak mungkin maksa.”
Aku menghela napas panjang. “Aku lagi nggak akur sama Reza.”
“Oh, gara-gara Reza. Tenang aja, nggak usah banyak pikiran. Orang kalau pacaran emang ada masanya akur, ada masanya berantem. Nikmatin aja,” selorohnya.