Sudah berkali-kali Bunda memintaku untuk memeriksakan diri ke dokter. Kali ketiga dia meminta dengan setengah memaksa. Tapi aku selalu menolak karena aku berpikir bahwa jika dokter memeriksaku itu sama saja membiarkan aibku terbongkar saat ini juga. Dokter akan tahu aku hamil lewat diagnosa yang dia ambil, kemudian dia akan memberitahukan hal itu kepada Bundaku. Kemudian Bunda akan menginterogasiku tentang kehamilan yang tak diinginkan ini dan bertanya siapa ayah dari bayi yang aku kandung.
Tunggu, tampaknya itu sangat menguntungkan, bukan?
Setidaknya jika Bunda dan Ayah tahu tentang hal ini, mereka akan memaksa Reza untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Atau paling tidak mereka akan merembukan hal ini dengan orangtua Reza, kemudian mereka bersepakat untuk menikahkan kami secara paksa meskipun Reza tidak menginginkannya. Setidaknya pernikahan itu bisa menutupi aib keluarga dari kedua belah pihak. Tidak hanya menutupi aib keluarga, tapi juga menutupi aibku sendiri.
Ah, bagaimana jika kejadian yang sebenarnya tidak semudah itu. Bagaimana jika Reza mengelak dan koar-koar kepada semua orang bahwa itu bukan perbuatannya. Reza akan berbohong kepada semua orang (termasuk kepada orangtuaku) bahwa aku tidak hanya tidur dengan dirinya, tapi juga dengan lelaki lain. Orangtua Reza akan mengamini anaknya dan mereka membela anaknya habis-habisan supaya bisa terbebas dari jeratan tanggungjawab yang seharusnya ditanggung. Lagian, orangtua mana yang merelakan anaknya dikeluarkan dari sekolah karena kasus asusila. Sebagaimana orangtuaku, orangtua Reza pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Lagi pula, biasanya orangtua akan selalu percaya kata-kata anaknya dibandingkan pengakuan dari orang lain. Karena mereka merasa anaknya yang paling benar.
Skenario akhir, orangtuaku akan membenciku karena semua kebohongan itu. Kebencian itu juga bukan hanya bersumber dari kebohongan tapi juga dari aib yang aku coreng di wajah kedua orangtuaku. Aku telah menyeret mereka pada aib yang tak terampunkan dan menjadi bahan cibiran dan gunjingan orang-orang sekampung. Reza akan lepas dari jeratan. Hanya aku yang menanggung malu dan terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena telah mencoreng nama baik sekolah.
Aku kembali bergidik.
“Sore ini kita periksa ke dokter,” ini permintaan Bunda yang kesekian kalinya.
“Nggak, Bunda. Besok juga aku sembuh kok.”
“Sembuh dari mana. Sudah hampir seminggu kamu sakit,” sergah Bundaku dengan nada gemas.
“Ini juga udah agak mendingan, Bunda. Kemarin Rara memang pusing sama mual-mual, tapi sekarang gejalanya sudah lumayan berkurang,” sanggahku mencoba beralibi. Kemudian aku melirik piring kotor yang tergeletak di samping tempat tidur. “Tuh, Bunda sendiri lihat, siang ini aku makan lahap. Kemarin-kemarin memang masih agak mual, tapi sekarang udah nggak lagi.”
Bunda melirik piring kotor yang beberapa jam yang lalu dia simpan di samping tempat tidurku. Di piring itu sebelumnya terisi sepotong ayam goreng dan sayur lodeh lengkap dengan dua potong tempe goreng. Bunda agaknya percaya aku sudah mendingan setelah tahu aku menghabiskan nasi dan lauk di piring, sehingga dia mengangguk pelan. “Baiklah, tapi kalau besok sakit kamu kambuh lagi, kamu tetap harus ke dokter.”
Bahaya! Itu artinya besok mau tak mau aku harus berangkat sekolah. Bundaku tidak pernah bisa dibantah.