“Sejak kapan kamu sama si Reza punya keperluan?” kali ini Yoni yang bertanya.
“Dia ngutang sama kamu?” tanya Anton dengan diiringi gelak tawa kedua temannya. “Atau jangan-jangan, si Reza macarin kamu?”
“Bukan urusan kalian,” sergahku dengan nada ketus. “Jadi kemana dia pergi?”
“Aku lihat sih tadi dia ke kantin,” jawab Juna. Setelah itu dia melanjutkan mendribble bola yang diiringi oleh aksi kedua temannya. Seakan-akan perbincangan antara mereka berdua dengan diriku adalah aktifitas maha tidak penting yang tidak perlu dilanjutkan.
Ya Tuhan! Dia bilang Reza ke kantin sekolah? Apakah aku berani menemuinya di sana tanpa mengundang rasa ingin tahu dari tatapan para penghuni sekolah yang ada di sana? Dan Fina juga tentu ada di sana.
Aku tidak peduli dengan rasa malu atau segan yang datang tiba-tiba. Aku hanya peduli tentang nasibku. Aku sudah mengatakan hal ini dua kali, kan. Jadi apa pun yang terjadi, aku harus nekad. Kulihat Reza tengah berbincang dengan seorang siswa kelas 10, aku tidak tahu siapa namanya meski aku tahu wajahnya. Sesekali Reza mengerling kepada Angelita yang duduk di hadapannya. Konon memang sudah lama Angelita menyukai Reza, tapi entah kenapa lelaki itu tidak pernah menyadari perasaan Angelita kepadanya. Atau memang Reza tidak menyukai Angelita? Kupikir itu mustahil karena Angelita adalah gadis popular yang menjadi incaran siswa-siswa popular. Awalnya aku berpikir Reza tidak merespon perhatian Angelita karena dia ingin menjaga perasaanku. Aku berpikir bahwa Reza mencintaiku sehingga dia tidak mendekati gadis mana pun.
Tapi lihatlah, sekarang dia tengah melempar tatapan dan kerlingan kepada Angelita. Silakan kamu menyebutku gadis bodoh yang berhasil dinodai oleh cowok bajingan. Aku rela. Karena itu memang salahku. Akan tetapi saat ini biarkan aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan.
“Reza, aku mau ngomong sama kamu,” seruku. Berdiri di hadapannya. Kehadiranku mampu membetot perhatian orang-orang sekitar, terutama teman ngobrol Reza dan Angelita.
Reza mendengus kesal. “Maaf, aku sibuk. Kamu nggak liat aku lagi ngobrol?”
“Aku nggak peduli.”
“Aku juga nggak peduli.”
Kemarahan benar-benar membuatku lupa diri. Aku lupa bahwa aku adalah perempuan cupu yang pendiam sekaligus pemalu. Aku lupa bahwa aku adalah gadis yang bahkan menyapa pun harus memiliki keberanian lebih. Tapi sekarang kemarahan benar-benar mengubahku menjadi gadis yang asing, aneh dan berbeda.
“Kamu emang cowok bajingan ya!” seruku sembari menatap Reza dengan tatapan berkilat.
Beberapa orang terkesiap mendengar cacianku. Mereka tidak menyangka atau bahkan tidak habis pikir bagaimana bisa seorang gadis bernama Raisya mampu bersumpah serapah di hadapan orang banyak. Yang lebih mengherankan lagi adalah aku mencaci lelaki paling popular di sekolah.
Reza membelalakan matanya. “Apa kamu bilang?”