Setelah peristiwa ‘pagi berdarah’ itu aku tak lagi dilanda kekhawatiran berlebihan. Aku berpikir bahwa janin itu telah luruh dan tak akan ada seorang pun yang tahu tentang keburukanku selain aku dan Tuhan. Oh, bukan hanya aku dan Tuhan, tapi juga Reza.
Omong-omong, tentang lelaki bajingan itu, aku tidak perlu lagi mengusiknya. Aku anggap kisah hidupku dengan Reza sebagai masa lalu yang buruk yang harus aku lupakan secepatnya. Yah, semakin dilupakan semakin sakit kurasakan. Karena tidak mungkin kau menghapus kenangan, yang mungkin adalah kau mengalihkan pikiranmu ketika mimpi buruk itu datang.
Sepertinya aku telah tertipu. Aku tidak akan pernah mengatakan Tuhan tengah mempermainkan nasibku. Aku hanya ingin bilang aku telah tertipu oleh kebodohanku. Aku kembali khawatir ketika aku tak kunjung datang bulan. Seiring dengan itu, aku juga melihat perutku semakin menggelembung. Sialan! Ternyata janin itu masih bertahan. Aku tidak mampu mengenyahkannya. Dia terlalu kuat untuk bertahan. Usaha yang kulakukan dengan cara menenggak jus nanas dan sprite, kemudian ditambah dengan aktifitas fisik yang berat tidak memberikan pengaruh apa pun.
Lalu flek merah itu apa?
Aku sendiri bingung memikirkannya. Aku benar-benar gagal.
Apakah aku harus kembali mendatangi Reza dan memaksa dia untuk bertanggungjawab? Apakah aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku telah berusaha untuk mengugurkan kandunganku tapi ternyata hal itu tidak berhasil? Aku merasa gamang. Ketika mendapatkan penolakan darinya, aku merasa pesimis bahwa dia tidak akan pernah mau terlibat lagi. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain selain mengungkapkan hal itu kepadanya.
Maka, seperti yang dahulu aku lakukan kepadanya, aku mendatangi Reza dan memintanya untuk tidak berlepas tangan.
“Kalau begitu, kamu bisa mencoba menggugurkan kandunganmu dengan obat penggugur kandungan.”
“Dimana aku bisa mendapatkannya?”
“Aku akan membawakannya untukmu.”
Dia ternyata tidak berbohong. Di hari selanjutnya, lelaki itu datang membawa sebuah botol obat berisi pil berwarna putih pucat. “Minum obatnya sampai habis. Aku yakin ini manjur. Ingat! Jangan coba-coba memintaku untuk bertanggungjawab. Itu salahmu sendiri!” Ternyata dia masih konsisten dengan pendiriannya. Dasar lelaki tak tahu diri. Ya, aku juga tak tahu diri, sih.