Aku ingin berteriak keras-keras. Tapi aku mencoba menahan diriku untuk tetap diam dengan cara mengigit bantal. Setidaknya keinginan untuk berteriak bisa disalurkan dengan cara tersebut. Seandainya bukan menyangkut aib, aku ingin Ayah dan Bunda ada di sampingku sembari menggenggam kedua jemariku, menyeka keringat di dahiku dan memotivasi diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ketika rasa mulas itu tak tertahankan, aku segera bergegas ke arah toilet yang letaknya berada di belakang. Bersebelahan dengan dapur. Aku tidak perlu khawatir suara bayi itu akan mengusik Bunda. Kupikir jarak antara kamar mandi dengan kamar Bunda lumayan jauh untuk bisa membuatnya mendengar keributan dari kamar mandi.
Kulihat cairan hangat mengalir di paha. Ketuban sudah pecah! Rasa khawatir semakin membuatku menggigil. Dengan tubuh yang serasa dirajam ribuan lemparan batu, aku menutup pintu kamar mandi dan mencoba mengigit bibir bawahku. Rasanya sakit sekali, ya Tuhan.
Aku melihat handukku tersampir di kapstok. Dengan susah payah aku menggapainya. Kain handuk yang tebal itu aku gigit keras-keras hanya untuk mengalihkan rasa sakit dan keinginan untuk berteriak. Jika aku berteriak, maka Bunda akan terbangun dari tidurnya. Aku menyalakan keran air sehingga air mengucur deras ke atas ember yang kosong. Dengan begitu, eranganku atau tangis si bayi tidak akan terdengar dengan jelas karena teredam suara air keran yang mengalir.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada di kamar mandi. Yang jelas waktu terasa merambat dengan begitu lambat. Satu menit rasanya seperti tiga kali lipat lebih lama karena gigitan rasa sakit itu semakin intens di panggulku.
Aku tahu diriku kotor karena telah berbuat zina. Kekotoran jiwaku semakin bertambah karena dahulu aku beberapa kali berusaha menggugurkan kandunganku. Aku tahu anak yang aku lahirkan adalah anak yang tidak diharapkan. Tapi setidaknya aku masih percaya Tuhan. Aku tidak peduli apakah Tuhan membenciku karena dosa-dosaku, aku tetap hamba-Nya. Maka saat itulah kurapal doa dan melangitkannya dengan hati yang ikhlas. Dengan diiringi istighfar dan minta ampun yang terus menerus meluncur dari lidahku yang basah.
‘Ya Allah, aku tahu aku kotor. Tapi tolonglah aku saat ini. Tolong berikan aku kemudahan.’
Aku kemudian merasakan puncak rasa sakit. Sesuatu tiba-tiba melesak di selangkanganku. Sesuatu keluar dari sana. Tak ada suara apa pun selain suara air yang deras mengalir dari keran yang kuputar secara peuh.
Hingga pada akhirnya rasa sakit itu telah lenyap, berganti dengan rasa lelah yang luar biasa. Keringat membasahi seluruh tubuhku, bercampur dengan cipratan air dan darah.
Tapi aku tidak mendengar tangisan bayi. Dimana suara tangisan itu? Ingin rasanya aku menegakan tubuhku sehingga aku bisa melihat sosok mungil itu. Aku ingin menyentuh dan membelainya. Aku ingin menimangnya. Jiwa keibuanku tiba-tiba muncul. Air mata merembes di mataku. Ya Tuhan, rasa bersalah kini bercampur oleh rasa cinta dan sayang.