Kisah yang Belum Usai

Husni Magz
Chapter #9

Mayat Bayi di Rumpun Bambu

Sejak kecil aku dikenal sebagai gadis penakut. Bahkan sampai usiaku 13 tahun (waktu itu aku sudah kelas 6 SD) aku belum berani tidur sendirian dengan ruangan yang gelap. Aku selalu tidur di kamar Bunda. Lebih tepat jika disebut kamar kami berdua. Terkadang Bunda memaksaku untuk tidur sendiri di kamarku ketika dia ingin bercumbu bersama Ayah. Aku sebenarnya tidak tahu hal itu. Tapi setelah mencapai usia remaja aku tahu bahwa kebiasaanku untuk tidur ditemani cukup merepotkan Bunda dan ayah yang saat itu masih berusia awal 30-an.

Aku jug tidak suka nonton film horor. Fina selalu memiliki banyak koleksi film-film horor yang dia simpan di laptop dari website download film illegal. Di desa kami yang masih tergolong wilayah transisi antara desa dan kota, bioskop belum ada. Jadi tak ada cara lain untuk menonton film selain dengan menonton film-film bajakan illegal yang bisa diunduh di website atau telegram. Atau paling tidak, berlangganan lewat aplikasi video berbayar.

Fina memang maniak film. Dia sering mengajakku untuk nonton bersama di rumahnya. Tapi aku selalu menolak menonton film dengan genre horror atau thriller. Aku lebih suka menonton film romance atau komedi. Jadi, siapa pun tahu aku ini anak penakut. Tapi berhubung Fina selalu memaksaku untuk ikut serta menonton film horror favoritnya, aku pun kalah. Beberapa kali aku menemaninya nonton.

Awalnya aku merasa takut, tapi lama-lama rasa takut itu menimbulkan rasa ketagihan. Takut tapi ingin melihat dan mengalaminya. Aneh, bukan? Dan aku tetap menjadi gadis penakut dengan segala keanehannya.

Pun dengan hubunganku dan Reza. Analoginya tak jauh dari film horror yang membuatku ketagihan sekaligus ketakutan. Aku takut jika hubunganku yang sudah terlampau jauh melanggar norma bisa menjadi bumerang. Tapi disaat yang sama aku merasa ketagihan sekaligus merasa menjadi gadis paling beruntung. Dan sekarang aku telah merasakan bumerang dari perbuatanku.

Malam ini aku harus menjadi gadis pemberani demi nama baik dan masa depanku sendiri. Kuangkat cangkul dan kudekap kardus berisi jasad Meira dengan kaki tertatih-tatih. Ketika aku berjalan, aku merasa kesakitan. Sakit itu menjalar di panggul, selangkangan dan paha. Itu efek dari mengejan ketika aku melahirkan Meira. Meski tertatih dan berbalut baju yang lepek karena keringat dan noda darah, aku tetap bertahan. Semua harus tuntas di malam ini. Sekarang pukul dua dini hari. Jadi aku masih punya waktu tiga jam sampai waktu subuh tiba.

Kususuri jalan setapak dengan hati yang kosong. Suara jankrik bersahut-sahutan dari perdu dan ilalang yang aku lewati layaknya orkresta malam yang mendamaikan. Tapi di telingaku suara jangkrik dan binatang-binatang malam lainnya tak menimbulkan kesan apa pun. Hatiku terasa sunyi. Sementara bulan tergantung rendah di langit sebelah barat. Warnanya pucat seperti tengkorak tersaput awan kelabu.

Kemudian langkahku berhenti tepat di rerimbunan bambu. Suara burung malam turut meningkahi suasana yang semakin mencekam. Untuk saat ini, aku tidak takut dengan hantu dan kegelapan. Aku hanya takut ada orang–yang entah untuk urusan apa--lewat di jalan setapak ini dan menyadari kehadiranku. Ah, seandainya ada orang lewat, mungkin mereka akan menganggapku sebagai hantu sehingga tidak perlu repot-repot mendekatiku. Lagi pula kau bisa melihat bagaimana aku keluar malam dengan rambut terurai dan baju tidur yang basah dan belepotan noda darah.

Kardus kuletakan di samping tubuhku dan aku mulai mencangkul tanah gembur yang subur itu dengan gerakan yang pelan. Mengandalkan sisa-sisa tenaga yang masih aku punya. Beruntungnya, tanah di sekitar rumpun bambu itu tidak terlalu keras. Guru biologi di sekolah pernah bilang bahwa tanah yang paling subur dan memiliki banyak zat hara adalah tanah di sekitar rumpun bambu dan tanah pekuburan. Hm, kombinasi yang sangat lengkap. Di bawah rumpun bambu ini aku kuburkan Meira.

Barang lima belas menit, aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Sebenarnya pekerjaan menggali tanah untuk menguburkan jabang bayi yang lahir prematur itu bukanlah pekerjaan berat. Kau hanya perlu menggali tanah yang kedalamannya seukuran dengan kedalaman lubang yang kau gunakan untuk mengubur kucing dewasa. Tapi berhubung aku baru saja menghabiskan tenagaku ketika mengeluarkan Meira, tubuhku nyaris tumbang dan kelelahan. Aku hanya berharap tidak pingsan dan siuman ketika pagi menjelang. Jika itu terjadi, semua rencana akan gagal total.

Tanganku yang gemetar mengangkat tubuh ringkih Meira dari dalam kardus. Dia tampak begitu damai di dalam balutan selimutnya yang tebal. Air mata kembali bercucuran dari kedua kelopak mataku. Untuk yang terakhir kalinya, aku menciumi pipi dan ubun-ubunnya dengan pelan dan agak lama. Aku membaui anyir disana. Aku bahkan belum sempat memandikannya. Tak apa. Bayi tak dimandikan bagiku tak jadi soal. Dia masih suci, kan?

Kubenamkan dia ke dasar lubang. Tak lupa aku meraih satu setel baju bayi dan menyimpannya di samping jasad Meira. Kemudian aku mulai menguruk lubang itu dengan tanah.

Krosak!!

Lihat selengkapnya