'Kayak ada suara orang bersin,' seru salah seorang dari mereka dengan suara yang lebih pelan dari yang terakhir kali aku dengar.
'I-iya. Aku juga denger,’ timpal sahabatnya dengan suara gemetar. Kentera sekali dia merasa ketakutan.
'Jangan-jangan hantu.'
'Sejak kapan kamu percaya hantu.'
'Ya masih ragu sih. Kecuali aku bener-bener udah ketemu hantu secara nyata.'
'Apaan sih, kondisi kayak gini jadi ngomongin hantu. Aku merinding nih.'
Setelah beberapa saat dicekam sunyi, aku kembali mendengar mereka berceloteh. Sementara aku masih berjongkok dibalik rerimbun ilalang. Aku berharap suara bersinku tadi mampu membuat mereka takut untuk melanjutkan aksi mereka sehingga aku selamat.
'Kita balik lagi aja, Yuk. Merinding nih.'
'Halah, gitu aja takut. Paling tadi salah denger. Siapa tahu cuman halusinasi karena rasa takut.'
'Tapi tadi kita sama-sama mendengar kan. Itu artinya bukan salah dengar. Itu nyata lho.'
‘Paling suara kucing liar.’ Darli masih berusaha membantah temannya.
‘Sejak kapan kucing bisa bersin?’
'Udah lah, jangan dipikirin lagi. Yang harus kita pikirkan sekarang adalah menggasak mangga pak Haji.'
Mereka melangkah semakin mendekat. Kali ini langkah-langkah mereka menjejak ilalang. Suara kaki mereka yang menjejak ilalang terdengar bergemerisik. Jarak dua bocah itu kira-kira dua meter di hadapanku. Baiklah, jika bersin tak sengaja tadi tidak cukup membuat mereka takut. Aku harus mengambil resiko dengan cara menakut-nakuti mereka. Aku tak peduli mereka akan takut atau tidak, yang jelas aku harus berusaha. Toh mereka akan tetap mengetahui keberadaanku, terlepas aku pura-pura menjadi hantu atau tidak.
Disaat itulah aku mencoba mengeluarkan suara rintihan dan tangisan. Kemudian aku menggoyang-goyang daun ilalang dengan kedua tanganku.
Kedua remaja itu mengentikan langkah mereka. Kemudian beberapa detik setelah itu mereka lari tunggang langgang tanpa mempedulikan apa pun di sekitarnya. Aku masih mendengar suara teriakan mereka, 'Jurig! Jurig!' Seorang lagi berteriak, 'Kunti! Kunti!'
Aku bernapas lega. Akhirnya usahaku berhasil. Kali ini aku kembali berbalik menghadap kuburan kecil Meira. Tentu saja aku tidak mungkin menandai kuburan itu. Hal itu justru akan mencurigakan orang yang lewat, kemudian mereka bisa saja membongkar kuburan ini untuk memuaskan rasa penasaran mereka. Maka aku harus menyamarkan kuburan Meira.
Tanah merah itu aku tutupi dengan tumpukan daun bambu kering yang berserakan. Tak lupa menebar beberapa lumut dan kerikil sehingga orang tak menemukan kuburan Meira.
Lagi-lagi aku terisak. Menangis. 'Maafkan Mama, nak. Mama janji akan selalu menjenguk kamu.'