Setiba di sekolah, aku menemukan teman-temanku juga ramai bicara tentang penemuan bayi itu (Lebih tepatnya bayiku, Meira). Mereka ramai memperbincangkannya dan menyalahkan si pelaku. Seandainya mereka tahu bahwa pelakunya adalah aku, teman mereka sendiri. Teman satu kelas, teman satu sekolahan, mereka akan jijik dan menudingkan telunjuk mereka ke arahku sembari berteriak, ‘Dasar jalang!’
Seandainya mereka tahu itu, mungkin mereka akan menjauhiku layaknya menjauhi anjing kudis kurap yang menjijikan.
Seandainya guru-guruku tahu siapa pelakunya, tanpa perlu berpikir panjang, mereka pasti akan langsung mendepakku dari sekolah. Bahkan tidak membutuhkan waktu lima menit pun, semua dewan guru mungkin akan sepakat untuk mengeluarkanku dari sekolah dengan alasan hal itu adalah aib yang sangat memalukan bagi semua warga sekolah.
Selama ini, ada beberapa kasus hamil di luar nikah yang terjadi di sekolahku. Semua gadis malang itu dikeluarkan dari sekolah dengan alasan mencemari nama baik sekolah. Sebagian dari mereka tentu saja tahu diri. Gadis-gadis itu keluar sendiri sebelum surat pengeluaran diberikan. Anehnya, konon ada lelaki yang diduga sebagai pelaku yang menghamili si gadis masih bebas berkeliaran di sekolah. Kenapa yang hamil dikeluarkan dari sekolah sementara yang menghamilinya bebas dari hukuman? Apakah karena gadis yang sudah tak perawan ada bekasnya berupa perut yang menggelembung sementara lelaki yang sudah tak perjaka tak akan pernah diketahui, sehingga perlakuan terhadap para pendosa berbeda sesuai dengan gendernya? Lelaki tak hamil. Jadi mereka bebas, kan? Ah, dunia memang tidak pernah adil.
Baiklah, agaknya pikiranku mulai melanglang buana.
“Hai Ra, kita ke kantin yuk, aku lapar nih,” Fina tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Tangannya menepuk pundakku dengan halus, tapi cukup membuat aku terkaget-kaget.
“Ih, pagi-pagi kok sudah melamun sih. Ayuk ke kantin.”
“Aku malas, Fin,” jawabku dengan enggan. Tentu saja aku malas ke kantin, karena di sana aku akan mendegar gosip tentang bayi malang itu didengungkan.
“Kamu sakit? Kok kelihatannya pucat banget sih.”
“Iya nih. Masih nggak enak badan.”
“Ya ampun, Ra. Kalau masih sakit kenapa masuk? Harusnya jangan masuk sekolah dulu. Tenang, kan ada aku.”
Ah, Fina, dia memang gadis yang baik. Tapi aku tidak yakin dia akan tetap baik andai dia tahu seperti apa diriku yang sebenarnya. Pada akhirnya aku mengangguk, menyetujuinya untuk ke kantin.
Sesampai di kantin sekolah, Fina juga mencoba mengangkat topik tentang bayi malang itu sebagai bahan pembicaraan kami berdua di kantin.
“Ini pertama kalinya ada kasus orang membuang bayinya di kampung kita. Sebelumnya tak pernah ada kasus seperti ini,” ujarnya membuka pembicaraan.
“Oh ya?”
“Iya, paling tidak kasus hamil karena kecelakaan sudah ada sebelumnya, bahkan banyak jika dibandingkan zaman emak kita dulu. Tapi ya tidak sampai separah ini. Paling tidak, banyak diantara mereka yang kemudian dipaksa menikah, keluar dari sekolah, kemudian melahirkan bayinya. Lha ini, sepertinya sih, menurut asumsiku si pelaku tidak ingin bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.”