Ada keanehan ketika aku pulang ke rumah. Dari jarak beberapa meter dari jalan depan, aku bisa melihat ada beberapa orang lelaki bertubuh tinggi kekar berdiri di halaman. Ketika aku membuka pagar, tatapan mereka langsung tertuju kepadaku. Tanda tanya menari-nari di kepalaku. Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di sini? Apakah mereka teman-teman ayah? Atau mereka teman-teman Bunda? Ah, mana ada bunda membawa rekannya ke rumah, lelaki pula.
Ketika aku sudah masuk ke halaman, kulihat Bunda di ambang pintu rumah dengan mata yang berkaca-kaca. Hatiku ketar-ketir. Jangan-jangan mereka ini adalah polisi. Tapi jika memang polisi, mereka harusnya memakai seragam, bukan pakai jaket warna hitam atau kaus oblong layaknya preman.
“Assalamualaikum.” Kuucap salam dengan suara bergetar.
Alih-alih menjawab salamku, Bunda langsung menyeretku ke dalam rumah, kemudian mendudukanku dengan kasar di atas sofa. Kulihat ada sorot amarah di kedua manik mata Bunda. Bunda jarang sekali marah, kecuali di kondisi tertentu yang mengharuskan dia untuk marah. “Kenapa kamu nggak jujur sama Bunda.”
“Bunda ngomong apa sih?”
“Kamu kan yang membuang bayi di kebun bambu itu?”
Aku terkesiap. Ingin rasanya aku berteriak dengan mengatakan ‘Ya, akulah pelakunya. Mau apa lagi?’ Tapi ego di dalam hati mencoba meyakinkanku bahwa masih ada kesempatan untuk merangkai drama sehingga aku bisa menutupi semuanya dengan sempurna. “Bunda ngomong apa sih?”
“Jujur saja sama Bunda!”
“Mereka itu siapa, Bunda?” aku mengalihkan topik dan menatap empat orang lelaki yang masih di luar rumah.
“Mereka polisi! Mereka datang untuk menangkapmu. Jadi, selama ini kamu menyembunyikan kehamilan dari Bunda. Kemudian Bunda bahkan tidak pernah tahu bagaimana bisa kamu hamil. Dan sekarang…” Bunda tidak sanggup untuk melanjutkan kata-kata. Dia kembali tersedu sedan.
“Bunda, Bunda ngomong apa, sih?” kalimat itu meluncur dari mulutku untuk yang kedua kalinya. “Rara nggak ngerti.”
“Baiklah, jika memang bukan kamu pelakunya, Bunda percaya. Tapi mereka memintamu untuk mengikuti mereka ke kantor polisi.”
“Untuk apa?”
“Untuk membuktikan bahwa kamu bukan pelaku pembuang bayi itu. Jadi, kamu bisa menjelaskan kepada mereka bahwa kamu bukan pelakunya, sayang.” Bunda sudah tidak tersedu sedan. Mungkin dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kebohonganku adalah kebenaran. Tangan kanan Bunda menyeka sudut matanya dengan gerakan kasar. “Sekarang kamu makan dulu.”
Meski aku tidak merasa lapar, aku menuruti saran Bunda. Sebenarnya sejak tadi siang aku kelaparan. Tapi begitu mengetahui kondisi kacau seperti ini, rasa lapar itu menguap entah kemana. Bahkan ketika aku makan pun, aku tidak merasakan apa-apa. Rasanya hambar sekali. Benakku seperti benang kusut. Aku tidak bisa berpikir untuk mengelak. Tapi egoku meneriaki diriku untuk tetap bertahan dengan kedustaan.
Setelah menyelesaikan beberapa suap, aku beranjak ke kamar untuk berganti baju. Setelah itu menemui Bunda yang saat itu tengah bersama empat pria tinggi besar itu.
“Ayo, ikut kami ke kantor polisi,” ujar salah seorang diantara mereka sembari mendorong punggungku dengan halus. Aku manut bagai kerbau yang dicocok hidung, menuju kijang inova yang terparkir di depan rumah. Aku benar-benar telah menjadi pesakitan.
“Saya boleh ikut?” seru Bunda kepada salah satu diantara mereka.
“Tentu saja boleh, Ibu bisa mengikuti kami ke kantor polsek.”