Aku hanya bisa mempermainkan jemariku sembari mencoba menenangkan diri dengan menghela napas panjang. Kurasakan telapak tanganku berkeringat sampai-sampai aku merasakan jemariku licin. Aku berharap polisi ini tidak banyak tanya. Lebih baik aku dijebloskan langsung ke dalam penjara tanpa perlu ditanyai macam-macam. Menjawab semua pertanyaan itu hanya akan menimbulkan rasa depresi. Aku hanya ingin diam. Atau bahkan aku ingin diam selama-lamanya dalam artian mati. Mati secara harfiah.
“Jadi, dengan cara apa kamu membunuh bayimu sendiri?” tanya Yulius. Dia tak akan pernah melepaskanku sampai benar-benar mengorek semua informasi dengan detail. Tak heran jika dia memiliki mata setajam elang. Dia memang memiliki sifat seperti elang. Tak akan melepaskan buruan sampai terpojok, tertangkap dan habis riwayatnya. Tatapan itu sungguh mengintimidasi. Aku pikir atasannya cukup cerdas memilih lelaki bernama Yulius ini sebagai interogator. Mata elang dan suara bariton itu modal yang lebih dari cukup untuk membuat siapa pun gentar.
“Aku tidak membunuhnya.” Kali ini aku mendongak, menatap langsung mata elang Yulius sebagai simbol bahwa aku benar-benar jujur. Aku tidak boleh takut untuk mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Aku sudah muak untuk berbohong. “Ya, selama ini aku banyak berdusta untuk menutupi semua aibku. Tapi perihal bayi itu, aku tidak membunuhnya. Aku hanya menguburnya.”
“Bagaimana bisa kamu tidak membunuhnya?”
“Bayi itu lahir premature. Dan dia sudah meninggal ketika aku melahirkannya,” jelasku dengan tatapan meyakinkan.
“Itu kan pengakuanmu. Aku tidak tahu pasti apakah kamu berbohong atau jujur.”
“Aku sudah berkata jujur.”
“Lidah bisa bilang ‘aku sudah jujur’. Tapi apa buktinya kamu jujur?”
“Terserah Bapak mau percaya atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu kebenarannya. Tapi aku katakan, kali ini aku jujur. Seandainya bayi itu lahir dengan keadaan hidup, aku tidak akan pernah berani membunuhnya. Aku berencana untuk menyimpan bayi itu hidup-hidup di depan rumah Pak RW. Tapi nyatanya….” Kali ini aku terisak. Aku menangis untuk Meira. Maafkan aku, nak!
Yulius berhenti menanyaiku. Membiarkan aku menangis tersedu sedan. Dia bukan berhenti menanyai karena merasa iba. Dia hanya memberiku waktu untuk terisak. Itu saja. karena beberapa menit setelah itu aku kembali ditanyai ini dan itu. Aku berani bertaruh ada ratusan pertanyaan yang bisa dia lontarkan semau dia.
“Siapa orang yang menghamilimu?” Yulius semakin liar. Pertanyaanya semakin melebar.
“Apa?”
“Siapa lelaki yang membuatmu hamil. Apa pertanyaanku tidak cukup jelas?”
“Apakah kalian juga akan menangkapnya?”